Legenda Tik Baes, Perjuangan dan Cinta di Tanah Rejang

Ekspedisi VII KPA Margapala "Eksplorasi Destinasi Tik Baes"


Dedicated to friends struggling towards sustainable nature, KPA Margapala.
Wisata Ringan Lereng Bukit Barisan destination exploration in 2015-2017, with 9 expeditions.

Aku menyukai petualangan, jelajah alam adalah kegemaranku. Ada banyak sekali yang bisa kunikmati saat memasuki alam yang tak pernah hening dari suara-suara aneh bernada khas, yang tak pernah ku temukan dari semua koleksi mp3ku, juga tidak dari piringan CD.


Mendengarkan dengan tenang perpaduan gemuruh air jatuh dan kicauan burung, air yang membuncah, lalu pecahannya terhempas ke batuan, menyapu cadas dengan lembut, berdesir seperti berbisik. Bersama sekumpulan air yang lebih besar berdentum memercikkan bagian kecilnya.

Sebagian yang lebih kecil berhamburan membentuk gambaran pelangi kala terbias larik mentari. Beruntung sekali bila disaat semua itu terjadi, ada sekumpulan makhluk kecil yang berderik nyaring melagukan nyanyian mereka.

Pemandangan yang memanjakan mata, dipadukan nyanyian yang membuai perasaan. Sebenar-benarnya ikhlas, yang tak menuntut pujian. Yah, alam benar-benar menyajikan, pasrah tentang apa yang akan kita lakukan, dan tak menghiraukan apa yang telah, atau akan kita perbuat.

Tepat dua minggu setelah menjelajah dan mengibarkan bendera bangsa di curug Tik Akia, tim eksplorasi KPA Margapala kembali mengunjungi hutan untuk menyaksikan langsung keberadaan Rafflesia gantung yang dikabarkan mekar di dekat kebun warga. Adalah Evan, seorang warga Kuro Tidur yang menikah dengan gadis Senali menjadi pengabar berita.

Rafflesia gantung, dengan kelopak merekah merah terjuntai bak memayungi inang. Menjadi pengobat lelah setelah berjalan melintasi perkebunan kopi dan beberapa anak sungai.

Melewati jembatan yang berayun membentang diatas sungai belinau, menuju kebun kopi berbunga putih yang menebarkan aroma mewangi.

Tak ayal, hanya beberapa menit berlalu dari waktu itu, potret Rafflesia gantung pun memenuhi seluruh beranda facebook insan Margapala yang berjanji akan memberitahukan keberadaan sang puspa langka yang malang ini kepada dunia, melaporkan kepada para pecinta, karya cipta sang maha kuasa yang selalu menaburkan guna kepada setiap penciptaannya.

Sekembali dari menyaksikan Rafflesia gantung, KPA Margapala mendapat hadiah tentang cerita keberadaan curug Tik Baes, legenda bidadari yang terlupakan. Konon, tidak ada bebatuannya yang berlumut di sepanjang aliran sungai Tik Baes, berbeda jauh tentu dengan sungai-sungai sekitar.

Minggu, 08 November 2015

Aku bersama delapan orang pioneer KPA Margapala lainnya, menjadi perwakilan eksplorasi dengan tema Ekspedisi Tik Baes 01. Rozi, Hery, Rhian, Comeng, Angga, Nurdin, Koni dan Agus.

Tentu setiap kami memiliki cerita versi masing-masing tentang hari itu, tentang indahnya mendaki perbukitan, tentang bangkit setelah terjatuh, menuruni lembah berawa. Dan tentu saja, makan bersama di atas tumpukan batu curug gergah yang terpapar kesejukan, tersembunyi dibalik kerimbunan hutan tropis Indonesia yang selalu menawarkan kesejukan.

Aku memilih untuk menceritakan kejadian disaat waktu terhenti, sesaat setelah kami tersesat kemudian blusukkan berusaha menemukan aliran sungai, karena sepertinya jalan yang kami lalui telah melenceng jauh dari pedoman.

“Kak..!!” Agus yang didepanku menghentikan langkahnya, Ia menoleh “Kalau kita ketemu dengan datuk..!” bisiknya cemas, ada pijakan tapak kaki datuk belang yang hampir saja terinjak oleh Rozi. Sepertinya hanya kami berdua yang menyadarinya.

“Bagaimana menurutmu, Apa kita kembali saja?.” Tanyaku.

Agus tak menjawab pertanyaanku, Ia malah mematung menatapku tak berkedip, namun kosong. Aku menoleh kebelakang, tak ada apa-apa yang mencurigakan.

Aku tegur agus sekali lagi "Broo..?" Tetap tak ada jawaban.

Lama aku memperhatikannya, Agus, aku mulai cemas, sehingga aku menyadari hutan itu telah membisu, semua diam, bahkan gemericik air yang tadi terdengar telah hilang.

Aku kemudian memperhatikan teman-teman yang lain, Rozi, Hery, Rhian, Comeng, Angga, Nurdin, Koni, semua mematung. Aku terkesiap melihat asap rokok Comeng yang menggumpal bak awan tersesat, tidak bergerak sama sekali.

Dan semuanya, juga dedaunan, dua ekor kumbang juga menggantung tak jauh dari tempatku berdiri.

“Ya Allah, apa yang terjadi ini..?” Entahlah, namun rasanya ingin aku segera berlari pulang.

“Apa yang membuatmu ikut mematung cung, bukankah kau mencari curug Tik Baes?” oleh suatu suatu suara.

“I.. i.. iya..” Jawabku terbata penuh keraguan sambil memperhatikan sekitar berusaha menemukan sumber suara.

“Ada sembilan curug di sungai ini, kau mencari yang mana?” suara itu lagi.

“Aku tidak tau, kami mencari yang terdekat untuk kami jadikan tujuan wisata.” Jawabku masih mencari-cari sumber suara.

“Kemarilah Cucuku, akan ku beritahu beberapa.”

“Di.. dimana..?” Aku mulai gemetaran.

“Aku di tepi sungai.”

Entah apa yang menggerakkan aku sehingga melangkah memenuhi undangan suara yang entah apa.

“Jangan sentuh teman-temanmu.” Katanya, aku patuhi, ku batalkan niat berpegangan kepada Agus, dan memindahkan pegangan ku kepada sebatang pohon kecil, agar tetap berdiri diatas tumpukan basah dedaunan nan licin.

Ku lintasi teman-temanku satu persatu, Agus yang terlihat cemas, Rozi yang tersenyum ceria, Hery yang sedang membenarkan letak topinya, Rhian yang sedang menengadah ke langit, Koni yang sedang menunjuk ke arah palem hutan, Angga dan Nurdin yang sedang mengikuti arah telunjuk Koni, dan Comeng yang sedang menghembuskan asap rokoknya.

Aku menghentikan langkahku saat aku hampir mencapai batang sungai Tik Baes, kakiku terasa berat untuk dilangkahkan, seekor harimau duduk diatas hamparan batu datar dengan kaki depan tegak lurus menungguku, Ia menyeringai memperlihatkan taringnya, namun lebih seperti sebuah senyuman.

“Sungai Tik Baes ini dibuat oleh seorang pemuda yang kakinya pincang.” Katanya sambil berdiri. “dibuatnya untuk pemandian para bidadari.” Ia lalu menjilati air sungai yang berubah seperti kaca, setelah jilatannya, kaca itu pun mencair, mengalir, kemudian Ia minum dengan caranya. Suara deru perlahan mulai terdengar, berikut gemuruh jatuhnya di kejauhan.

Tiba-tiba datuk telah berada di depanku, entah bagaimana, aku tak sempat melihat caranya menyeberangi batang sungai Tik Baes yang cukup luas untuk sebuah lompatanku. Bagaimana mimik mukaku saat itu tak ada saksi mata yang melihat, tapi aku melihat mimik muka kesepian di sorot mata datuk yang bisa berbicara layaknya manusia ini.

“Kau boleh tidak percaya dengan apa yang aku katakan.” Katanya.

(Sejujurnya, aku juga ingin mengatakan hal sama kepada kalian yang sedang membaca kisahku ini).

“Siringnya masih tersisa di atas curug gergah di hulu sana, senjatanya masih meninggalkan bekas di curug Air Mata (cuup Tebioa Matai).” Ia membalikkan tubuhnya.

“Mari aku tunjukkan beberapa tempat yang boleh dan tak boleh kalian datangi dalam keadaan tertentu.” Tawarnya.

“Mari Cung..!!” Paksanya, “Kau tidak akan mendapatkan apa-apa disini.” lanjutnya sembari menarik lengan ku dengan belitan ekornya. Aliran darahku hangat berdesir kemudian dingin, kemudian keringat bercucuran dari dahi dan tanganku.

"Kalau aku berniat menyakitimu, sudah kulakukan dari tadi.." Ia mencoba meyakinkanku yang mulai bergetar hebat. Ia kemudian memutar tubuhnya, berjalan ke hilir meninggalkanku.

Keberanianku lalu muncul, entah dari mana, tubuhku terasa ringan sekarang, aku mencoba melompat menyusulnya yang masih memandangku dengan tatapan harap. Aman sekali aku rasanya, bagaimana tidak merasakannya bila sang raja rimba yang menjadi pelindung di daerah kekuasaannya.

“Dulu tak basah masuk saung Curug Selendang Pertapa (Cuup Slinang Bikeu Betarak), sekarang atapnya runtuh tertimpa pohon yang tumbang ditebang liar.” Ia kembali membuka pembicaraan setelah aku berjalan sebelah kanannya, sejajar dengan kepalanya.

“Berarti kejadiannya belum lama ini Tuk..?” aku coba menerka-nerka.

“Maksudmu..?” Tanyanya.

“Apakah penebang liar itu sudah ada sejak dulu..?” Timpalku bertanya pula. Ia menoleh ke arahku kemudian melompat dari batu ke batu, aku pun mengikutinya.

“Hanya beberapa purnama sebelum gempa besar disini.” Jawabnya setelah mencapai seberang. Kami lanjut berjalan menyusur ke hilir sungai, membawa kami semakin mendekati suara dentuman air yang semakin jelas terdengar.

Tepat di atas curug kami berhenti, penasaran, aku mencoba mendongakkan kepalaku ke bawah sana, dua batang pohon terlihat menancap di pelatarannya.

"Kita sedang berada di atas curug Selendang Pertapa, disebelah sana itu dekat batu sendiri itu curug Mencegan, yang tersembunyi dibalik belukar di sana itu curug Bidadari. Dan diatas sana masih ada sisa-sisa pokok batang yang meruntuhkan atap saung yang tadi kuceritakan.” Cerita datuk panjang lebar.

“Apa masih ada tunggulnya sampai sekarang Tuk..?

“Tentu saja masih ada.” Jawabnya

“Berarti kejadiannya memanglah baru-baru ini.” Ujarku membatin.

“Berapa umurmu sekarang Cung..?” tanyanya.

“Tiga puluh tahun tuk.” Jawabku

“Berarti kau telah dewasa saat pohon itu tumbang.” Jawabnya memastikan.

“Datuk tidak punya alat penghitung hari untuk memastikan kapan itu terjadi.” Lanjutnya, kemudian Ia duduk di cadas mulus menatap ke hilir jauh. Aku ikut duduk, mengambil posisi bersila disampingnya sambil memperhatikan sekitar.

Entah berapa lama kami sibuk dengan pikiran masing-masing, aku sendiri mencoba menikmati kejanggalan yang ada.

Hanya ada aku dan seekor raja rimba yang benar-benar nyata diantara ritme air yang mengalir jatuh tak berjeda, angin sepoi yang seharusnya sejuk menyentuh pipiku tak dapat kurasakan keberadaannya, suara derik vokal hutan..? Yah, sepertinya aku mulai merindukannya. Pepohonan, menyedihkan, semua diam bak bunga plastik yang terpaku di tembok biru putih.

Lambaiannya, hemm.. aku benar-benar merindukan kicauan burung yang berlompatan dengan ceria di antara dahan dan menyeruak dedaunan.

Sejurus kemudian aku ingin bertanya kepada datuk, namun aku batalkan, tampaknya Ia berusaha keras melepaskan sisa makanan dari dalam lubang giginya, pipi dan bibirnya bergerak tak karuan, sesekali kumisnya terarah ke belakang menyentuh rahangnya yang kokoh, bibirnya dimonyong-monyongkan sembari mendongak bagai meniup sesuatu. Aku benar-benar hanya bisa memperhatikan dengan iba.

“siuw.. akh..” katanya kesal, berulang-ulang, sesekali kaki depan sebelah kanan dijilatinya untuk kemudian mengusap mukanya.

“Siuuuuuuuuuuuuuuuuwww..” Datuk raja rimba itu mengeluarkan suara siulan yang panjang.

“Nah.. Akhirnya.. Aku sudah lama tak melakukannya.” Ucapnya riang memandangku dengan raut girang. “Sampai hampir lupa caranya..” Ia menyeringai ke arahku yang berjarak tak sampai sejengkal.

“Kau bisa melakukanya..?” Tanyanya. Akupun mencoba menirukan siulannya yang sama sekali tidak berirama, siulan panjang yang mendayu pilu. Bak suara kembang api melesat ke langit, namun tak ada letupan yang menggema saat percikkan apinya berhamburan menghiasi langit.

Cukup lama Ia mengajariku, Ia tak pernah lelah mencontohkannya, diulang-ulang hingga aku benar-benar bisa membunyikan siulan serupa. Mimpi apa aku semalam sehingga hari ini belajar bersiul kepada seekor raja rimba.

Semakin aku mencoba, semakin aku menemukan keindahannya, setelah menyadari siulan yang tak berirama itu menyatu dengan gemuruh air jatuh.


Sang datuk hidung basah itu kemudian bernyanyi dengan suaranya yang khas, serak-serak fals. Aku belum pernah mendengar nyanyian itu sebelumnya, bahkan iramanya juga tidak. Atau mungkin, datuk hanya mencoba berbicara dengan nada. Tentu saja aku tak dapat mengingat semua susunan dan penempatan katanya, namun aku mengingat beberapa kalimat yang sering ia ulang-ulang, mungkin itu bait reffren. Setiap bait di awali dengan siulan panjang, dan Ia meminta aku untuk terus bersiul mengiringi nyanyiannya.


Gen ba maco lak kemliak moi lem belek bioa
Aweibah uku lak smibak pun poong ne yo
Lajau bah ijai dalen matur angok muno maco, be ca o
Cubo ko megong amen ko tekegong
Ujung moi ujung slinang putiak be kaes ne o
Cubo bah amen lak ko cemubo
Kemes ne si o moi ateiku gi bi matei ne yo
Coa cito kalau ne arok te
Nyabai bah te keung lem tabau abau
Gen ba cao magea ngut tememau amau
Kemin ba belek katak bah kukua
Seto duai kedau kelak kepenak
Spicang duai kedau klak kepanyang
Coa ba sitau kenok kedeu bae ne eCoa si sudo bah coa si serdo
Atak jujut lungenne, mot si sapei moi lem ikum
Uyo ku binamen gen kijaine uku melang ko coa nak pio
Cigai nasai ko temingea uku
Sekelak nu lak muno maco coa ba gi serdo o
Kemus obonku, kapus bioa mataiku
Amen asai ko masiak asai coa ba sitau
Lenget nak das ku minei seksai mako ko temtau
Awei serambeak padeak temnai angok moipe kangok Ngangau alau
Tiko sutan messin patiak atei kek maco omong buung atei
Telau pueng menai nak unen tegitei Ngangau gi tenmaune
Teketenai bah moipe angok oron Ngangau o nak lem ateine
Ingone tekadeak bah teketenai kek ne
Oi Ngangau, lak moipe ko Ngangau
Lak ngedek moi ulau tik lak ngemak atei ne bioa
Gen guno atei bioa oi Ngangau oi
Ngaran ubet penyengak atei buung atei
Jiwone bi nademku, ateine bi tenkenku, dileakne bi natiakku
Bedetak patiak si keno nang atei
Keno ba slako ne gi tlau puluak tlau
Keno ba kulo si sipet ne o pat puluak pat
Terjemahan bebas klik disini.

Tiba-tiba Datuk melompat ke seberang sungai, kemudian mengaum dengan kerasnya, aku terkesiap, suaranya menggema ke seantero lembah dipantulkan cadas-cadas yang menyimpan banyak misteri. 

“Hahaha.. Jangan kau gunakan tembangku tadi untuk memaksa seseorang menyerahkan dirinya kepadamu..” Ujarnya sembari mengedipkan mata ke arahku.

“Huargggggh..” Teriakku menirukan aumannya, sepertinya gentian datuk yang sekarang kaget. Ia sempat tersurut beberapa langkah.

“Mana ada yang mau menyerahkan dirinya dengan tembangku yang seperti itu datuk, yang ada orang-orang malah menjauhiku karena mengiraku gila.” Keluhku.

“Hei, kau tak boleh menirukan aumanku, seekor cicak rotan saja tau itu tak mirip sama sekali..” Sombong datuk kemudian kembali melompat ke dekatku.

“Akuilah kalau kau bisa mengingat semua kata perkata tembang Pateak Atei Bioa Sutan Messin yang tadi aku tembangkan, aku mengulangnya tiga kali dan setiap kalinya langsung aku tanamkan dialam bawah sadarmu, bukan aumanmu yang lucu itu. hehehe.” Terang datuk raja rimba sembari meletakkan perutnya disampingku. Kemudian Ia mengajarkan cara menggunakan mantra lagu tersebut.

“Ingat, kau hanya boleh menggunakannya sekali dalam seumur hidupmu.” Pesan datuk, akupun mengangguk paham. “Jangan bilang aku tak memperingatkanmu bila kau menggunakannya lebih dari satu kali.” Lanjutnya.

“Iya datuk, aku mengerti..” Janjiku padanya.

“Oya, akupun berjanji mengenalkan tempat-tempat disini yang boleh dan yang tidak boleh manusia kunjungi pada saat-saat tertentu.” Ujarnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat sehingga menimbulkan suara ‘klepak-klepak’ dari benturan telinga dan kepalanya.

“Kemasi barangmu, naiklah ke punggungku..” Perintahnya tegas, sepertinya Ia tak memberiku pilihan. Aku segera mengambil ranselku, menaruhnya dalam gendongan sembari menaiki punggung datuk.

“Peluk leherku..!” serunya, kemudian Ia melompat membawaku menuruni curamnya cadas Selendang Pertapa, terasa sejuk saat bulir jernih menyentuh kakiku, namun tak cukup walau sekedar untuk menenangkan jantungku.

Pelataran air terjun yang berdinding cadas lumut hijau, dan batu gamping.

Datuk berjalan pelan, sesekali menggeleng-gelengkan kepalanya untuk melepaskan butiran air yang menempel. Ia menurunkanku di dekat sebuah batu yang seperti ter-hunjam, Ia menaiki batu itu perlahan, mengaum, lalu duduk bak patung singapore pas pancurannya macet. Tajam matanya menatap ke rimbunan semak diseberang sana, entah berapa lama.

“Belukar itu menyembunyikan sesuatu yang menjadikan alasan kenapa sungai ini dibuat.” Ujarnya membuka pembicaraan tanpa bergeming. “Sebutlah Ia sebagai Curug Bidadari..” Ujar datuk tanpa menoleh, kemudian mengalihkan pandangan jauh ke langit.

“Apa ada air terjun dibalik semak itu datuk..?” Aku penasaran.

“Iya, ada tujuh tingkat.” Jawabnya, “Air terjun yang berasal dari mata air yang memancar dari bibit air yang ditanam oleh tujuh bidadari.” Jelasnya.

“Dari sanalah semua ini bermula.” Lanjut datuk kemudian mengarahkan pandangannya ke arah belukar itu lagi. Aku hanya diam terpaku, benar-benar tidak mengerti kemana arah pembicaraannya, aku menunggu, mungkin nanti tiba saat dimana datuk akan menjelaskannya kepadaku, saat detak jantungku telah kembali normal. Pikirku.

“Disana juga ada mata air dari bibit air yang mereka bawa..” Tunjuk nya ke arah berseberangan. “Bahkan mereka menanam bibit air itu dengan do’a..” Kali ini Ia menoleh dan tersenyum kepadaku. “Kami menyebutnya Butai Biniak Bioa (batu bibit air), tapi ada juga yang menyebutnya Butau Beniat (Batu berniat).”

“Dua nama, satu tempat..” celetukku penasaran sambil berusaha memanjangkan leherku dan mencari-cari tempat yang datuk ceritakan.

“Disebut batu bibit air, karena mata airnya mengalir dari bibit air. Disebut Butau Beniat karena bidadari-bidadari itu menanam bibit air mereka dengan kutuk.” Datuk menjelaskan.

“Kenapa namanya bukan tujuh mata air terkutuk saja tuk..?”

“Husss...!!! Jangan sembarangan kamu ngomong cung..!!” Hardiknya marah.

“Maafkan aku datuk, aku kurang pandai dalam hal memberi nama..” Ujarku.

“Sepertinya kau benar, kau tak pandai memberi nama.. hahahaha..” Datuk tertawa keras, aku pun bersiap-siap seandainya Ia mengaum dengan tiba-tiba.

“Siapa namamu cung..?” Tanyanya kemudian sembari menahan tawa.

“Khoy tuk, kami memakai nama hutan kalau sedang masuk kedalam hutan.” Jawabku.

“Lalu nama kampungmu..?” Tanyanya dengan mengernyitkan dahi.

“Kami hanya menyebutkannya bila telah berada di kampung.” Jawabku.

“Khoy..!!, hemmmm..” Datuk seperti mengingat sesuatu sambil memainkan jemarinya yang berkuku bersih dan mengkilap terkena cahaya. “Khoy..” Ia mengulang nama hutanku sambil bergaya seolah mengingat sesuatu.

Aku lalu membiarkannya yang sepertinya sedang asyik memikirkan nama hutanku, rugi rasanya bila tak sempat menikmati keindahan keasrian alam yang masih perawan itu. Bagaimana tidak, kami berada diantara dua tingkat air terjun, dibelakang, arah hulu dimana tadi kami turun, dan di depan kami, tepatnya di bawah kami, sebelah hilir.

Aku perhatikan cadas berlumut hijau yang menyerupai gedung tembok di depanku, berseberangan, tapi cukup jelas untuk memperhatikan motif dan detailnya. Terlebih tatakan bebatuan gamping yang bertumpuk berantakan di belakangku, indah. Bak ditata sang seniman ternama dari pulau dewata.

“Apa aku sudah mengatakan kalau sungai ini dibuat oleh seorang pemuda yang kakinya pincang..?” Tanya datuk membuyarkan konsentrasiku. Aku menganggukkan kepalaku, sepertinya datuk mulai memasang wajah serius.

Datuk melompat turun, mendarat tanpa suara di belakangku lalu merebahkan tubuhnya yang hampir sebesar anak sapi tetanggaku. Aku merasa inilah giliranku menaiki batu itu, berharap menemukan sensasinya.

Dari atas batu itu aku pandangi sekeliling dengan benar-benar berputar. Setelah cukup puas, aku duduk dengan menjuntaikan kaki menghadap ke arah datuk yang mengernyitkan alis kepadaku, lucu sekali. Sehingga akupun tertawa pelan.

“Apa yang kau tertawakan..?” Datuk mengerutkan keningnya. Semakin lucu.

“Datuk terlihat lucu dengan mengernyitkan dahi seperti itu, seperti raja hutan yang tersesat dalam hutannya sendiri.” Jawabku polos yang kemudian membuat datuk menyeringai memperlihatkan taring putihnya, bersih dan terawat. Mungkin begitulah cara dia tertawa.

“Apa rasa yang kau dapat saat memandang dari atas tapak bidadari itu..?” Tanyanya dengan ekspresi sangat antusias.

“What..!! Tapak bidadari..?” Aku kaget dan segera melompat turun memperhatikan batu yang baru saja kududuki.

“Iya, begitu namanya disebut.” Jawab datuk, sepertinya datuk kecewa dengan jawabanku.

“Maaf kalau kata-kataku kurang pantas bagi datuk, sejujurnya aku belum berpengalaman mengobrol dengan ha.. raja rimba..” Hampir saja aku menyebutnya harimau, aku bersandar pada batu yang hampir sepinggangku itu. “Ini baru pertama kalinya tuk, sekali lagi aku mohon maaf..” Mohonku sambil tertunduk melihat ke arah kuku kakiku yang ternyata sangat kumal.

“Mungkin aku mulai lapar, apa kau membawa makanan..?” Tanyanya.

"iya.." Jawabku.

Aku raih ranselku, mengeluarkan bekalku yang berupa nasi bungkus buatan ibuku dan satu kemasan roti coklat seharga enam ribuan. Ia melirik ku dengan tidak mengubah posisinya. Aku membagi dua nasi bungkus berikut sambal sarden dan rebusan pucuk ubi untuk kami berdua, lalu memasukkan lagi bagianku ke dalam ransel.

“Kau menyimpan setengahnya..?” gumamnya berirama tanya dan mengernyitkan mata kirinya.

“Aku menyimpan bagianku untuk nanti ku santap bersama teman-temanku.” Jawabku sambil membuka bungkus roti.

“Makanlah datuk duluan..” Lanjutku menyodorkan setengah bekalku padanya. Tiga keping roti coklat ku suapkan mulutnya.

Ia memandangi roti itu, kemudian mengangkat alisnya sembari memandangku dengan ekspresi heran. Aku menganggukkan kepala tanda mempersilahkannya. Datuk kemudian bangkit, melahap roti yang kusodorkan kemudian melahap habis nasi dan lauk yang telah menjadi bagiannya.

Aku perhatikan caranya makan sambil makan roti, tak sampai semenit kurasa, datuk menyelesaikan makan siang istimewanya. Aku kemudian menumpahkan sebaris roti ke bungkus nasi yang sudah datuk habiskan. Kami saling pandang, saling senyum, dan kemudian datuk kembali melahap roti yang terhidang.

Sepertinya Ia benar-benar lapar, dan yang aku hidangkan belumlah cukup untuk menutupi rasa laparnya. Aku merogoh ranselku, mengambil nasi bungkus yang telah aku sisihkan. Sebelum aku melepas karet pengikatnya, datuk mencegahku. “Sudah Cung, nanti kau tidak bisa makan bersama teman-temanmu.” Tegurnya sembari menjilati hidungnya.

Ia terlihat panik, coklat menempel di giginya. “Makanan apa ini, lengket di gigi.” Katanya sembari menoleh ke padaku.

“Roti coklat tuk, tapi yang murah, yang mahal lebih lengket lagi.” Jawabku sambil asik makan roti dan pura-pura tak tau masalah yang sedang Ia hadapi.

“Khoy, kau lihat cadas datar disana itu..?” tanya datuk sembari mengarahkan pandangannya ke arah air terjun. Aku pun mengikuti arah pandangannya, “He eh..” Jawabku sambil menganggukkan kepala.

“Dulu kau tidak basah kalau duduk disana, sebelum pohon itu menimpa atapnya.” Ia kemudian melompat mendekati air terjun. Aku bergegas mengikutinya, melompat diantara batu. “Ada teriakan nyaring saat pohon besar itu tumbang menimpa curug Selendang Pertapa ini, terjungkal, kemudian berhenti di lembah curug Mencegan yang disana tadi itu.” Datuk menunjuk ke arah dimana tadi kami berada.

Datuk kemudian menuju air terjun, dan membuka mulutnya disana. Ternyata masih berusaha melepaskan sisa-sisa roti yang lengket di giginya.

“Penebang pohon itu gemetaran, kemudian pulang tanpa mempedulikan pohon yang baru saja mereka tumbangkan.” Lanjutnya. Aku mengangguk-ngangguk sambil memperhatikan cadas datar yang mampu menampung beberapa orang duduk di atasnya, tepat di bawah cucuran air.

“mau tau siapa saja pelakunya..?” Tanyanya kemudian, aku menganggukkan kepala mengiyakan. “Salah satunya ayah dari temanmu itu, sejak saat itu aku tidak pernah melihatnya menebang pohon di hutan ini lagi. Tadi aku mengikuti kalian karena mencium baunya, kalian tadi menyebut namanya, Iwang, dia cucuku, ternyata dia yang mengarahkan kalian kesini.”

“Iya tuk, mang Iwang yang membuatkan kami peta.” Jawabku. “O iya tuk, apakah maksud datuk, mang Iwang tau cerita curug Tik Baes ini..?.” tanyaku.

“Semua orang dusun Gerbong tau cerita Tik Baes, walau mungkin sepotong-sepotong dan tidak tersambung. Pastilah para tetua kalian menyampaikan sejarah nenek moyang kalian.” Jawabnya.

“Pertama, aku tidak pernah mendengar adanya dusun Gerbong tuk, dan sejujurnya, aku tidak pernah tau adanya cerita Tik Baes ini.” Aku mencoba meyakinkannya dengan penuh ekspresi. Datuk terpaku memandangku, Ia seperti tak percaya dengan apa yang baru saja aku ucapkan.

“Seperti itukah keadaan kalian sekarang cung..?” Tanyanya.

“Maksud datuk..?” Aku balik bertanya.

“Benarkah anak-anak seumur mu sekarang tidak mengetahui sejarah para leluhur kalian sendiri..!” Seru Datuk kepadaku.

“kami..”

“Apa kalian juga tidak tau bahwa adanya masa sekarang ini karena pernah adanya masa-masa dahulu!.” sepertinya datuk mulai marah sekarang.

Aku benar-benar terdiam, menunduk pilu, mana mungkin aku boleh disalahkan dalam situasi seperti ini. Bukankah seharusnya para tetua yang menceritakannya kepada kami, kenapa malah kami yang disalahkan bila tak mengetahui sejarah para pendahulu kami. Aku bergumam dalam hati mencoba menenangkan hati, mencari alasan-alasan yang logis.

“Maukah datuk menceritakannya kepadaku tuk..?” pintaku kemudian masih tertunduk.

“Mungkin tidak sepenuhnya salah kalian, bisa jadi kalian bertanya kepada orang yang salah, atau mungkin para tetua kalian terlalu sibuk untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga bekerja terlalu keras, kelelahan, lalu tidak ada waktu untuk menyampaikan kisah dari mana kalian berasal.” Katanya sambil berlalu dari hadapanku.

“Datuk, berceritalah padaku..” aku memintanya dengan memegang ekornya yang berkibas liar.

"Baiklah.." Jawabnya.

“Dulu, sebelum desa kalian sekarang, tetua kalian tinggal di dusun Gerbong, di dekat lubuk air lais yang kemudian diberi nama lubuk gerbong. Karena beberapa alasan Puyang Beringin memindahkan desa ke tempat yang kalian tinggali sekarang.” Datuk mulai berkisah setelah mengajakku berjalan.

Ia merebahkan tubuhnya di tempat semula, Datuk kemudian melanjutkan kisahnya.

“Di dusun Gerbong itu dulu lah dusun tua kita, didirikan oleh empat kakak beradik putra Muning Duaso yang sekarang melekat dengan pembagian keempat suku adat desa kalian. Sebenarnya suku itu untuk mengelompokkan garis keturunan Muning Duaso melalui keempat anaknya. Suku Depatai berarti keturunan Muning Depatai, Suku Raden berarti keturunan Muning Raden, Suku Jemalai berarti Keturunan Muning Jemalai, dan Suku Pengucak berarti keturunan Muning Pengucak.

Depatai, Raden, Jemalai dan Pengucak itu bukan nama asli mereka, tapi gelar (jolok) seperti yang sampai sekarang juga masih sering kita temukan disekitar kita. Mungkin sama halnya dengan dirimu yang menggunakan nama hutan.

Nama-nama anak muning duaso itu sebenarnya merupakan panggilan cumbuan, tapi kemudian melekat dan tidak banyak yang tau nama aslinya. Dalam budaya kita (rejang), menyebutkan nama orang tua itu tidak baik, kurang sopan, walau sebenarnya dahulu itu dilarang menyebutkan nama-nama pemimpin yang dihormati dikarenakan perang, para pemimpin kita dicari musuh, dan untuk melindunginya pendahulu kita melarang menyebutkan nama para pemimpin dan itu sebagai rasa cinta dan bentuk penghormatan.

Kemudian budaya itu berkembang menjadi lebih luas, dengan tidak menyebutkan nama orang-orang yang dihormati, mungkin dirimu pernah dilarang menyebutkan nama orang tuamu, dan mungkin kau juga pernah mengalami masa dimana kau marah saat nama orang tuamu disebut.

Begitu pula dengan nama-nama anak Muning Duaso itu, itu bukan nama aslinya.” Tutup datuk raja rimba.

“Kali ini karena kita dipertemukan disini, aku akan menceritakan tentang seorang pemuda pincang yang telah membuat sungai kecil ini memiliki cerita yang patut di kenang. Dia adalah puyang Kucea, dan seperti kebiasaan tetua kita dahulu, Kucea itu juga bukan nama aslinya. Tidak ada yang tau siapa nama aslinya.

Seperti arti Kucea dalam bahasa rejang yaitu bila persendian tulang terlepas dari tempat seharusnya. Itulah kenapa Puyang Kucea dipanggil begitu, kaki kanannya pincang karena tulang pahanya tekucea dan tidak mau mengikuti saran kakek yang mengurutnya, padahal kakek Kucea adalah salah satu tabib tersohor di zaman itu. Karena tidak mau mengikuti saran kakeknya saat berobat, dia berjalan pincang hingga dewasa.

Sewaktu kecil Kucea hidup bahagia bersama dengan orang tuanya di dusun Gerbong. Ayahnya menggantungkan hidup dari usahanya mencari damar hutan, rotan, dan mencari ikan. Ayahnya juga membuat ladang seperti warga lainnya, ditanami padi darat dan tebu telur sebagai pagar Jawai (Jewawut), Kucea sangat senang makan bubur jawai, sehingga ayahnya menanam jawai lebih banyak dari warga lainnya.

Ibu Kucea juga sangat menyayanginya, seperti ibu lainnya yang menyayangi anaknya, apapun yang kucea mau selalu saja dituruti.

Damar ayah Kucea sangat diminati warga hingga ke dusun pesirah, karena mengandung lilin berkadar tinggi, rotannya juga merupakan rotan pilihan, Ia hanya mengambil rotan yang cukup tua, tak salah memang bila damar dan rotan yang ayah Kucea bawa selalu menjadi pilihan utama. Sehingga perekonomian keluarganya mampu untuk memenuhi apapun permintaan Kucea dikala itu. Bisa dikatakan, tidak ada yang Kucea mau tidak dipenuhi oleh ayah dan ibunya.

Teman-teman Kucea juga sangat senang berteman dengannya karena dia tidak sombong dan tidak pelit, satu-satunya yang mereka benci dari Kucea adalah bila Ia menginginkan sesuatu milik temannya, maka Ia tidak segan-segan merebutnya, bila tidak berhasil merebut Ia bahkan tega merusaknya agar tidak ada yang bisa memainkannya. Baik tapi bandel.

Sebagaimana kebanyakan anak-anak lereng bukit di tepian sungai Lais kala itu, dari kecil Kucea sudah menampakkan kepandaiannya berenang, menyelam dan memanjat pohon. Keadaannya yang pincang tidak mampu mengurangi keahliannya tersebut, bahkan membuatnya lebih lincah.” Datuk tersenyum melihatku yang amat serius memperhatikannya.

"Apa kau percaya yang aku ceritakan Khoy..?"

"Aku rasa datuk belum bercerita sama sekali.." Jawabku. Datuk membelalakkan matanya. Aku tertawa.

"Menurutku datuk barulah memperkenalkan tokoh cerita." Aku memberikan alasan. "Apakah puyang Kucea memang pincang sedari lahir datuk..?" Tanyaku sangat penasaran.

“Ia terjatuh dari tangga rumahnya..” Jawab datuk singkat.

Aku mengernyitkan dahi demi mendengar kabar itu. Datuk maklum, Ia tersenyum dan kemudian mulai bercerita saat-saat masa kecil puyang Kucea yang bahagia setelah sebelumnya membasahi hidungnya dengan sekilat jilatan.

Tapi tunggu dulu, datuk akan menceritakannya di postingan berikutnya. Insya Allah akan cepat dipublikasikan. Mohon do'a nya yah..

Komentar