Sebuah anak sungai dengan legenda yang terputus, hanya menyisakan kejernihan air pegunungan yang membuncah membelah lembah, sesekali membentuk pelangi ketika larik sinar mentari menembus bulir-bulir kecilnya yang terpisah, kemudian jatuh memberi kesempatan bulir lainnya. Celah lembah itu telah tertempa gerusan arus terus-menerus, membentuknya, menjadikannya sebagai sosok yang berkarekter seni pahatan alam, dipersiapkan untuk menjaga sebuah rahasia, tentang asal muasal tujuh aliran air yang memancar.
“Kau tau kenapa anak sungai itu diberi nama Tik Baes..?” Tanya Datuk Sudir suatu sore saat aku berkunjung ke tempat wisata sungai yang dikelolanya bersama keluarga di dekat jembatan Air Lais. Aku menemuinya karena beliau adalah salah satu tetua desa Kuro Tidur yang juga memiliki kebun dekat dengan curug tik baes yang menurutku layak menjadi wisata alam. Aku menemaninya memangkas bunga-bunga yang telah terbentuk indah, tidak buruk untuk berswaphoto.
“Karena di Tik Baes batuannya tidak ditumbuhi lumut.” Ia menjawab sendiri pertanyaannya setelah aku menggelengkan kepala. “Lihatlah batu sungai lain, Tik Akia, Tik Slising, Tik Dien, bahkan Air Lais ini, batuannya ditumbuhi lumut.” Lanjutnya.
Aku mengangguk-anggukkan kepala. Dalam hati aku berjanji akan memperhatikan batuanya bila kesana lagi nanti.
“Assudah..!” Datuk Sudir sontak berdiri lalu berlari kearah pengunjung yang masih asyik mandi, beberapa orang sedang menguji nyali, terjun dari ketinggian cadas yang menjadi pembatas alami sungai.
“Ngapo Tuk..?” Teriakku. Datuk Sudir tak menanggapi, semakin kencang Ia berlari disusul anak-anaknya yang juga terlihat cemas. Akupun ikut menyusul berharap mendapatkan jawaban.
“Mendarat..! Mendarat..! Mendarat..!, Hati-Hati..!” Teriak datuk Sudir berulang-ulang dengan tangan mengawai. Anak-anak Datuk Sudir dengan lincah melompat di antara bebatuan, sejurus kemudian mereka telah bergabung dengan kepanikan lalu dengan cekatan membantu mengumpulkan cucian ibu-ibu yang masih bertumpuk diatas batu.
“Banjir..” Batinku. Aku segera menuruni tangga dan ikut membantu beberapa pengunjung yang membawa anak kecil.
“Eh.. ini pake baju dulu..” Teriak seorang ibu muda yang anaknya aku gendong menuju tangga.
“Di darat saja bu..” Jawabku tak memperdulikannya dan tak menggubris tangisan anak dalam gendonganku yang segera disambut Datuk Sudir dari atas pematang sungai sembari mencoba menenangkan tangisnya.
Aku kembali menuruni tangga berharap ada seseorang yang bisa kubantu.
“Ada apa dek..” Tanya seorang pengunjung kepada Ade, salah seorang anak Datuk Sudir.
“Sepertinya mau banjir bu..” jawabnya santai tak ingin membuat keadaan lebih mencekam.
“Oh..” Jawab beberapa pengunjung heran. "Bukannya cuaca cerah..?" Timpal pengunjung lainnya penuh tanda tanya.
Datuk Sudir kembali mencuri perhatian, Ia terlihat memarahi beberapa orang anak-anak yang masih asyik menerjuni lubuk sungai dari cadas yang lumayan tinggi di dekat air terjun mini. Maklum, mereka anak-anak Desa Kuro Tidur yang merasa Air Lais adalah bagian dari kehidupan mereka.
Tapi daripada menantang ancaman dilaporkan kepada orang tua mereka, akhirnya mereka pasrah memilih untuk meninggalkan sejenak kegembiraan.
Lima belas Menit berlalu, beberapa pengunjung belum hendak meninggalkan tempat itu. Sebagian singgah di atas jembatan hendak mengabadikan banjir kiriman yang menurut Datuk Sudir akan segera datang.
Tiga puluh menit berlalu, ketinggian air hanya memperlihatkan sedikit peningkatan. Beberapa anak desa Kuro Tidur dan desa Senali yang tadi sudah mengenakan pakaian mereka kembali berlompatan susul-menyusul. Memang sangat pemberani anak-anak itu. Mereka berganti menampilkan berbagai ketangkasan lompatan, ada yang salto, terjun lancip, terjun kupu-kupu, dan sebagainya. Tontonan yang lumayan mengasyikkan, tapi membuat datuk Sudir geram namun kali ini tampaknya tak dapat berbuat apa-apa selain membiarkan.
Para pengunjung satu persatu meninggalkan tempat itu, Ibu-ibu yang tadi mencuci pakaian juga telah selesai mencuci pakaiannya di cucian mobil yang juga disediakan Datuk Sudir di lokasi wisata yang Ia kelola itu.
Beberapa pengunjung yang baru tiba juga semakin banyak, maklum ini hari minggu yang cerah, namun harus memendam kekecewaan karena pihak pengelola melarang pengunjung mendekati bantaran sungai.
Sebenarnya aku masih penasaran dan masih asyik melihat gaya lompatan anak-anak pemberani itu, namun harus segera berpamitan karena ibuku menyuruh pulang melalui panggilan selular adikku.
"Aku balik dulu Tuk.." Pamitku kepada Datuk Sudir yang mondar-mandir memberi peringatan jangan mendekati aliran sungai.
"Lah ngapo cepek nian..?" Sahutnya "Orang rami kau balik.." Lanjutnya.
"Mak mbo nyuruh balik Tuk, kapan-kapan mbo kesiko lagi.." Janjiku.
"Iyolah kalau cak itu.." Sambutnya sembari menerima jabatan tanganku. "Salam kek bak-mak kau yo.." Pesannya setelah aku mencium tangannya.
Tiba-tiba anak-anak di atas cadas yang masih asyik memamerkan kepandaian itu menjadi gaduh. Mereka meneriaki teman-temannya yang masih berada di sungai.
“Way... Gacang-gacang, sapei.. sapei..” teriak anak-anak yang berada di atas cadas lompatan. Anak-anak yang masih berada di sungai segera berenang dengan lincah, kemudian menyelamatkan diri ketempat yang lebih tinggi.
"Nah banjirnyo lah sampai, idak nengok dulu Pit..?" Tanya Datuk Sudir kepadaku tenang.
"Mbo nengok dari ateh jembatan ajo tuk.." Jawabku sembari berlari menuju motor yang aku parkirkan di bawah pohon beringin.
Selang beberapa menit aku telah memacu motorku mendekati jembatan, benar saja, gumpalan air keruh telah mencapai tikungan hulu sungai membawa serta beberapa potongan kayu, semakin dekat, semakin jelas gemuruh suaranya yang khas.
bhusssss.. gludak..gluduk..
Hemm, bila saja aku tak ditelpon adikku agar segera pulang, pasti aku telah bergabung dengan reporter dadakan yang sibuk mencari angel yang tepat biar booming.
Sesampai di rumah aku menyadari sebuah keanehan, dari mana Datuk Sudir tau akan ada banjir kiriman?, tidak ada suara dering telpon dan aku pastikan Ia cukup lama mengobrol denganku.
“Kau tau kenapa anak sungai itu diberi nama Tik Baes..?” Tanya Datuk Sudir suatu sore saat aku berkunjung ke tempat wisata sungai yang dikelolanya bersama keluarga di dekat jembatan Air Lais. Aku menemuinya karena beliau adalah salah satu tetua desa Kuro Tidur yang juga memiliki kebun dekat dengan curug tik baes yang menurutku layak menjadi wisata alam. Aku menemaninya memangkas bunga-bunga yang telah terbentuk indah, tidak buruk untuk berswaphoto.
“Karena di Tik Baes batuannya tidak ditumbuhi lumut.” Ia menjawab sendiri pertanyaannya setelah aku menggelengkan kepala. “Lihatlah batu sungai lain, Tik Akia, Tik Slising, Tik Dien, bahkan Air Lais ini, batuannya ditumbuhi lumut.” Lanjutnya.
Aku mengangguk-anggukkan kepala. Dalam hati aku berjanji akan memperhatikan batuanya bila kesana lagi nanti.
“Assudah..!” Datuk Sudir sontak berdiri lalu berlari kearah pengunjung yang masih asyik mandi, beberapa orang sedang menguji nyali, terjun dari ketinggian cadas yang menjadi pembatas alami sungai.
“Ngapo Tuk..?” Teriakku. Datuk Sudir tak menanggapi, semakin kencang Ia berlari disusul anak-anaknya yang juga terlihat cemas. Akupun ikut menyusul berharap mendapatkan jawaban.
“Mendarat..! Mendarat..! Mendarat..!, Hati-Hati..!” Teriak datuk Sudir berulang-ulang dengan tangan mengawai. Anak-anak Datuk Sudir dengan lincah melompat di antara bebatuan, sejurus kemudian mereka telah bergabung dengan kepanikan lalu dengan cekatan membantu mengumpulkan cucian ibu-ibu yang masih bertumpuk diatas batu.
“Banjir..” Batinku. Aku segera menuruni tangga dan ikut membantu beberapa pengunjung yang membawa anak kecil.
“Eh.. ini pake baju dulu..” Teriak seorang ibu muda yang anaknya aku gendong menuju tangga.
“Di darat saja bu..” Jawabku tak memperdulikannya dan tak menggubris tangisan anak dalam gendonganku yang segera disambut Datuk Sudir dari atas pematang sungai sembari mencoba menenangkan tangisnya.
Aku kembali menuruni tangga berharap ada seseorang yang bisa kubantu.
“Ada apa dek..” Tanya seorang pengunjung kepada Ade, salah seorang anak Datuk Sudir.
“Sepertinya mau banjir bu..” jawabnya santai tak ingin membuat keadaan lebih mencekam.
“Oh..” Jawab beberapa pengunjung heran. "Bukannya cuaca cerah..?" Timpal pengunjung lainnya penuh tanda tanya.
Datuk Sudir kembali mencuri perhatian, Ia terlihat memarahi beberapa orang anak-anak yang masih asyik menerjuni lubuk sungai dari cadas yang lumayan tinggi di dekat air terjun mini. Maklum, mereka anak-anak Desa Kuro Tidur yang merasa Air Lais adalah bagian dari kehidupan mereka.
Tapi daripada menantang ancaman dilaporkan kepada orang tua mereka, akhirnya mereka pasrah memilih untuk meninggalkan sejenak kegembiraan.
Lima belas Menit berlalu, beberapa pengunjung belum hendak meninggalkan tempat itu. Sebagian singgah di atas jembatan hendak mengabadikan banjir kiriman yang menurut Datuk Sudir akan segera datang.
Tiga puluh menit berlalu, ketinggian air hanya memperlihatkan sedikit peningkatan. Beberapa anak desa Kuro Tidur dan desa Senali yang tadi sudah mengenakan pakaian mereka kembali berlompatan susul-menyusul. Memang sangat pemberani anak-anak itu. Mereka berganti menampilkan berbagai ketangkasan lompatan, ada yang salto, terjun lancip, terjun kupu-kupu, dan sebagainya. Tontonan yang lumayan mengasyikkan, tapi membuat datuk Sudir geram namun kali ini tampaknya tak dapat berbuat apa-apa selain membiarkan.
Para pengunjung satu persatu meninggalkan tempat itu, Ibu-ibu yang tadi mencuci pakaian juga telah selesai mencuci pakaiannya di cucian mobil yang juga disediakan Datuk Sudir di lokasi wisata yang Ia kelola itu.
Beberapa pengunjung yang baru tiba juga semakin banyak, maklum ini hari minggu yang cerah, namun harus memendam kekecewaan karena pihak pengelola melarang pengunjung mendekati bantaran sungai.
Sebenarnya aku masih penasaran dan masih asyik melihat gaya lompatan anak-anak pemberani itu, namun harus segera berpamitan karena ibuku menyuruh pulang melalui panggilan selular adikku.
"Aku balik dulu Tuk.." Pamitku kepada Datuk Sudir yang mondar-mandir memberi peringatan jangan mendekati aliran sungai.
"Lah ngapo cepek nian..?" Sahutnya "Orang rami kau balik.." Lanjutnya.
"Mak mbo nyuruh balik Tuk, kapan-kapan mbo kesiko lagi.." Janjiku.
"Iyolah kalau cak itu.." Sambutnya sembari menerima jabatan tanganku. "Salam kek bak-mak kau yo.." Pesannya setelah aku mencium tangannya.
Tiba-tiba anak-anak di atas cadas yang masih asyik memamerkan kepandaian itu menjadi gaduh. Mereka meneriaki teman-temannya yang masih berada di sungai.
“Way... Gacang-gacang, sapei.. sapei..” teriak anak-anak yang berada di atas cadas lompatan. Anak-anak yang masih berada di sungai segera berenang dengan lincah, kemudian menyelamatkan diri ketempat yang lebih tinggi.
"Nah banjirnyo lah sampai, idak nengok dulu Pit..?" Tanya Datuk Sudir kepadaku tenang.
"Mbo nengok dari ateh jembatan ajo tuk.." Jawabku sembari berlari menuju motor yang aku parkirkan di bawah pohon beringin.
Selang beberapa menit aku telah memacu motorku mendekati jembatan, benar saja, gumpalan air keruh telah mencapai tikungan hulu sungai membawa serta beberapa potongan kayu, semakin dekat, semakin jelas gemuruh suaranya yang khas.
bhusssss.. gludak..gluduk..
Hemm, bila saja aku tak ditelpon adikku agar segera pulang, pasti aku telah bergabung dengan reporter dadakan yang sibuk mencari angel yang tepat biar booming.
Sesampai di rumah aku menyadari sebuah keanehan, dari mana Datuk Sudir tau akan ada banjir kiriman?, tidak ada suara dering telpon dan aku pastikan Ia cukup lama mengobrol denganku.
Apik wak...
BalasHapusSebenare ora ketok sopone, tapi tak gagas iki budhe endis..
Hapussuwun Budhe, tapi jek proses kae ki, durung rampung. hehehe