Legenda Tik Baes, Sungai Dengan Batu Yang Tak Berlumut Season 1

Legenda Tik Baes adalah cerita rakyat desa Kuro Tidur, hampir senasib dengan cerita rakyat lainnya yang hampir tidak ada yang tau bagaimana alur cerita yang sebenarnya. Sebut saja Legenda Muning Duaso, Legenda Sungai Kemangar, dan beberapa cerita rakyat lainnya. Secara umum, cerita rakyat suku Rejang di Provinsi Bengkulu memang hampir hilang dari peradaban.


Mata Air Butau Beniat atau juga di kenal dengan sebutan Butau Biniak
Mata Air Butau Beniat atau juga di kenal dengan sebutan Butau Biniak yang ada di Tik Baes,
berjumlah 7 mata air dengan khasiat yang berbeda-beda.
Yah, mungkin tergerus zaman dan memang harus diakui hubungan antara anak muda dengan orang tua agak sedikit renggang semenjak era Reformasi ditambah lagi dengan teknologi yang dewasa ini semakin membuat anak-anak muda lebih up to date berita baru, dan semakin meninggalkan budaya yang mereka anggap tabu.

Tokoh utama dalam cerita legenda Tik Baes adalah Puyang Kucea, Kucea adalah nama gelar sebagaimana kebiasaan suku rejang dalam hal Menjolok.

Kebiasaan menjolok ini masih berlaku di tahun 90'an, misalnya Ansori entah kenapa dipanggil Undet, Amandeka entah kenapa dipanggil Ikod, Firdaus dipanggil Oblong dan sebagainya. Tapi semua jolok itu pasti ada sejarahnya.

Entah siapa nama asli Puyang Kucea, tapi sebelum Ia mendapatkan gelar itu, dalam cerita Ia disebut Buyung, yang kita tau, Buyung adalah panggilan untuk anak laki-laki secara umum. Jadi belum tentu nama aslinya.

Mendapat Gelar Kucea

Cerita Puyang Kucea mendapatkan gelar Kucea karena Ia berjalan pincang. sewaktu kecil Ia jatuh dari tangga sehingga sendi pinggulnya terlepas dari tempat seharusnya. Dalam bahasa rejang, hal seperti ini disebut tekucea.

Puyang Kucea semasa kecil sangat hiperaktif, selain sulit diobati karena ngamuk saat akan diurut, Ia juga tidak bisa menuruti saran datuk Kalang yang melarangnya terlalu banyak bergerak selama masa pengobatan. Alhasil, sendinya bersambung tidak sempurna sehingga Ia berjalan pincang.

Setiap ada orang bertanya kepada Puyang Kucea "Lah buyung, getai ko ciket..?""Tekucea.." Jawab puyang Kucea.

"Hai anak laki-laki, kenapa jalanmu pincang..?"
"....." (Entah apa bahasa Indonesia Tekucea. Kalau keseleo, bahasa rejang nya tkelish.)

Sehingga lama kelamaan melekatlah orang memanggilnya Kucea.

Dusun Gerbong

Yang menjadi latar cerita adalah dusun tua warga Adat Desa Kuro Tidur, terletak di sebelah hulu desa Kuro Tidur yang sekarang. Di dekat Lubuk Gerbong tak jauh dari pemandian umum lama warga Desa Senali.

Dusun Gerbong didirikan oleh Muning Depatai, Muning Raden, Muning Jemalai dan Muning Pengucak. Mereka adalah putra Muning Duaso (Tuai Sadei Ktidua).

Dinamakan dusun Gerbong karena tempat tinggal pertama ke-empat anak Muning Duaso disana merbentuk pondok rendah yang dalam bahasa rejang disebut Gerbong.

Dalam literatur bahasa rejang, penamaan tempat tinggal terbagi ke dalam beberapa tingkatan, yaitu Serudung, Gerbong, Pondok, Umeak,

Puyang Kucea Dewasa

Ayah puyang Kucea meninggal bersama tiga rekannya saat mencari Ikan di sungai lais. Sungai lais hingga sekarang memang sering kali banjir secara tiba-tiba karena hujan di hulu sungai. Ibunya meninggal karena demam panas tiga tahun sebelum ayahnya meninggal.

Sejak ayahnya meninggal, Puyang Kucea tinggal bersama neneknya di dekat Pacua Tik Semeak yang merupakan sumber air bersih warga dusun Gerbong. Nenek puyang Kucea bernama nenek Julek.

Dangau nenek Julek berdiri terpisah dari kampung, sebelah ujung di pinggir jalan warga menuju pemandian umum di sungai lais.

Keseharian puyang Kucea membantu neneknya merawat kebun Kopi disekitar dangau, Selain itu puyang Kucea juga kehutan untuk mengambil damar dan rotan.

Walaupun memiliki kekurangan, menurut cerita, puyang Kucea pandai memanjat pohon dan pandai berenang. Bahkan diceritakan tidak ada yang bisa menandingi kepiawaiannya menangkap ikan di sungai lais pada masa itu.

Damar puyang Kucea juga merupakan damar terbaik, karena Ia mengambil damar yang belum terkubur bahkan sering kali ia mengambil damar yang masih menempel di pohon-pohon penghasil damar seperti Matiak Tebo dan sebagainya.

Saat musim panen padi darat dan padi sawah, nenek Julek dan Kucea ikut membantu panen, dari sanalah persediaan padi mereka.

Legenda Tik Baes sebenarnya terbagi kedalam 4 bagian. yaitu:

Bagian pertama

Menceritakan masa kecil Puyang Kucea, persahabatan dengan dusun Senali, persahabatan dengan dusun Taba Tembilang, hubungan dusun Gerbong dengan penjaga gerbang sungai Lais (Jago Bayo), hubungan kekeluargaan dengan Dusun Raja dan pengakuan adat dari Bintunan (pesirah rajo teneak jang)

Bagian kedua

Menceritakan adat negeri langit, hubungan manusia dengan penduduk langit, Bidadari diusir ke bumi, penghianatan Panglima Tanduk Merah hingga manusia berperang dengan penduduk langit, bidadari diizinkan tinggal di bumi, Bidadari diusir ke negeri pelangi.

Bagian ketiga

Menceritakan adat bidadari, lanjutan bagian kedua setelah maha diraja raja langit menghukum kaum bidadari untuk mengurus pohon air.

Bagian keempat

Menceritakan Ikatan adat kaum Bidadari, Asal muasal Kura-kura Bintang, Penjaga curug 9, permintaan Seri kepada puyang Kucea, Puyang Kucea membuat aliran sungai Tik Baes, Slinang Bikeu Betarak.

Nah, kita langsung saja ke inti, bagian keempat..!!! Puyang Kucea membuat aliran sungai Tik Baes.

Tiga bulan menjelang bulan puasa, musim panen padi darat, musim panen padi sawah, musim Ipun, musim burung bersarang.

Seminggu sebelum pernikahan Putri Seruni, kakak Seri, Seri meminta Kucea mencarikannya damar terbaik untuk dipersembahkan sebagai hadiah pernikahan kepada kakaknya. Singkat cerita, Kucea menerima permintaannya dan berangkat ke Hutan.

Saat sedang mencongkel damar yang masih menempel di atas pohon, dari kejauhan Ia melihat bidadari sedang asyik bermain air. Ia mengintip sampai sinar matahari digantikan sinar bulan purnama.

Saat dalam persembunyiannya, puyang Kucea mendengar rencana para bidadari itu akan datang lagi kesana bulan purnama yang akan datang.
Dalam legendanya diceritakan para bidadari itu pertama turun ke curug 9, namun oleh penjaga curug sembilan mereka dikira mata-mata negeri langit yang hendak menyerang mereka, sehingga para bidadari itu terbang menjauh. Para penjaga curug 9 akhirnya melempari mereka dengan senjata yang berbentuk cakram berduri, salah satunya berhasil mengenai bidadari selendang kuning. 
Para bidadari itu terus menghindar ke arah hilir dan menjauhi sungai lais, setelah merasa aman mereka turun untuk memeriksa keadaan selendang kuning. Saat selendang hijau akan mengobati selendang kuning dengan air kehidupan, tak sengaja airnya menetesi senjata penjaga curug sembilan yang berbentuk cakram berduri. Cakram berduri itu pun berubah menjadi Kura-Kura Bintang.
Mau tidak mau, selendang merah dan selendang biru menyusuri tempat-tempat yang tadi mereka lewati untuk menemukan senjata penjaga curug sembilan lainnya. Karena air kehidupan akan hilang khasiatnya bila Kura-kura Bintang hidup sebatang kara.
Setelah memberikan teman sang Kura-kura Bintang, ketujuh bidadari sepakat mencari tempat yang lebih aman. Mereka menemukan cadas yang bertingkat-tingkat. Di cadas itu mereka menanamkan bibit air yang mereka bawa di tingkatan sesuai dengan urutan kesenioran mereka. Selendang merah menaruh bibit air di tingkat paling atas, diikuti bidadari yang lain hingga selendang putih paling bawah.
Bibit air yang mereka tanam mengeluarkan air dan kemudian membentuk air terjun yang kemudian dinamai Curug Bidadari.
Hari kedua setelah kejadiaan itu, Kucea ikut rombongan berburu. Kebetulan mereka melintasi tempat dimana puyang Kucea melihat bidadari hingga jauh ke dalam hutan.

malam harinya puyang Kucea tidak bisa tidur, hingga kemudian ia mendapat ide untuk membuat aliran sungai menuju tempat dimana Ia melihat para Bidadari. Namun saat meminta izin kembali ke hutan, neneknya tidak mengizinkan karena pesta kejai putri Seruni segera datang harinya. Nenek Julek meminta Kucea mewakili almarhum bapaknya untuk membantu pernikahan anak ketua adat.

Puyang Kucea tak punya pilihan, dari pagi hingga malam Kucea selalu berada di rumah ketua adat hingga acara pernikahan putri Seruni selama 7 hari 7 malam itu selesai. Bahkan setelah pesta selesai, Kucea masih diminta membantu beres-beres.

Saat membantu beres-beres di gudang datuk ketua adat, Kucea melihat Gadai, bentuknya bola-bola yang dihubungkan dengan rantai. Menurut penjelasan Seri, itu alat untuk memasung orang gila.

Kucea sangat tertarik dengan gadai yang dilihatnya, Ia bertanya kepada datuk ketua adat apakah bisa memecahkan batu dengan alat itu. Datuk ketua adat menjelaskan, kalau gadai sebenarnya adalah senjata. Singkat cerita, datuk ketua adat mengajari Kucea menggunakannya, lalu diberikannya sebuah kepada Kucea.

Tak terasa, bulan purnama hanya tinggal hitungan hari saja. Kucea segera meminta izin untuk betarak (Sekelas bertapa tapi tidak semedi) dan berlatih gadai di hutan. Nenek Julek mengizinkannya, asalkan Kucea pulang sehari sebelum bulan puasa tiba.

Berangkatlah Kucea ke hutan dengan bekal seberonang. Ia membuat serudung di dekat pohon Matiak Tebo dimana dahulu Kucea melihat bidadari dari atasnya.
Diatas pohon itu Ia juga membuat tempat duduk dan perlengkapan lainnya hingga menyerupai rumah pohon.

Tak ketinggalan dimana dulu Ia bersembunyi, segalanya telah dipersiapkan dengan matang lengkap dengan buah-buahan persiapan bila nanti Ia lapar.

Sehari sebelum malam purnama serudung Kucea diketemukan rombongan uwak Kalang yang sedang berburu.

Kucea senang sekali karena uwak kalang pernah bercerita tentang bidadari. Ditengah percakapan Ia bertanya kepada uwak Kalang apakah Bidadari selalu menepati janji, Awalnya uwak kalang agak curiga jangan-jangan Kucea diganggu mahluk penunggu hutan. Namun setelah Kucea mengingatkan bahwa sewaktu Ia masih kecil Uwak Kalang pernah bercerita tentang negeri pelangi, Uwak Kalang tertawa keras sekali. Dan Iya katanya, Bidadari akan selalu menepati janjinya.

Hari yang dinantipun tiba. Kucea sudah siap di rumah pohonnya, mengawasi sekitar dari ketinggian. Namun sampai malam hari tak ada tanda-tanda kedatangan bidadari sama sekali, bayangannya pun tak ada.

Keesokan harinya Kucea mencari jejak arah rombongan uwak kalang. Setelah bersusah payah, akhirnya Kucea menemukan rombongan uwak Kalang sedang bersantap siang. Ia ikut makan, dan berpura-pura ingin ikut berburu.

Di suatu kesempatan Kucea mendapat Ide, Ia pura-pura lupa selisih waktu dunia laut dengan dunia manusia dalam kisah smat laut. "Satu hari di dunia laut, sama dengan satu tahun di negeri manusia." Jawab uwak Kalang.

Lalu Kucea menanyakan selisih waktu manusia dan bidadari. "Tak ada selisih waktunya, hanya saja matahari di negeri langit bersinar selama dua hari dua malam." jawab uwak Kalang lagi.

"Jadi.. kalau bidadari mengatakan kepada manusia purnama yang akan datang, maksudnya adalah purnama ketiga menurut perhitungan kita di Bumi." Uwak Kalang menjelaskan.

"Jadi, aku masih punya waktu dua bulan" Kucea Membatin.
Selama dua bulan itulah Puyang Kucea membuat aliran sungai Tik Baes, yang sebenarnya hanya mengarahkan air agar melintas ke tempat Ia melihat bidadari.
Geografis bukit barisan adalah tanah bergelombang, bagian tingginya disebut pematang, bagian rendahnya disebut lekok.
Puyang Kucea mencari sumber air di sebelah hulu, kemudian mengalirkannya agar menjadi satu kesatuan di sebuah lekok.
Lekok itu sekarang dinamai pelataran curug Air Mata
Hulu Tik Baes adalah Curug Air Mata, dinamakan begitu karena gadai, senjata puyang Kucea pernah tercaput di cadas napal dan tidak bisa dilepaskan.
Bekas lobang senjata puyang Kucea itu masih bisa disaksikan sampai sekarang
Saking paniknya, puyang Kucea menitikkan air mata (Tebio matai), beruntung Datuk Harimau Kumbang membantunya, sebagai imbalan, Datuk Harimau Kumbang meminta sedikit air untuk mengairi tamannya.
Air yang dipinta Datuk Harimau Kumbang itu memasuki batu dan mengalir entah kemana di pelataran Curug Air Mata.
Dari pelataran Curug Air Mata puyang Kucea menggali siring membelah pematang hingga lekok yang langsung mengarah ke Curug Bidadari.
Dari siring yang puyang Kucea buat itu airnya jatuh ke lekok dinamakan Curug Gergah, karena airnya seperti menggelegak dan hilang di disembunyikan bebatuan.
Namun sekarang siring buatan puyang Kucea itu sudah tergerus erosi (2018) siringnya masih tersisa kurang lebih 200 meter.


Sebelum mencapai curug bidadari, dari curug Tik Baes membentuk dua buah terjunan lagi yang dinamai Curug Slinang Bikeu Betarak dan Curug Mencgan yang jaraknya tidak berjauhan dengan curug bidadari. (Diceritakan pada artikel berikutnya)
Sekitar 200 meter dari curug bidadari Tik baes juga membentuk curug Nyeluang, dinamakan demikian karena disini dahulu kala banyak sekali ikan seluang (Wader yang panjang-panjang)

Demikian Legenda Tik Baes, Sungai Dengan Batu Yang Tak Berlumut season 1.

Puyang Kucea membuat aliran sungai Tik Baes

Sampai jumpa di Legenda Tik Baes, Sungai Dengan Batu Yang Tak Berlumut season 2

Selendang Pertapa, Bibit Air Tapak Bidadari

Komentar

  1. Mantab gan, ditunggu artikel ke dua yang serius.. hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ok sip, kita sedang proses gan. Masih digodok di komunitas KOPRA. Semoga nanti segera terbit ya gan..
      Terima kasih sudah mampir..

      Hapus

Posting Komentar