Legenda Tik Baes, Perjuangan dan Cinta di Tanah Rejang - Puyang Kucea

Legenda Tik Baes, Perjuangan dan Cinta di Tanah Rejang - Puyang Kucea

Saat Kucea kira-kira berumur empat tahun, ayah dan ibu bermaksud mengunjungi rumah keluarga uwak Kalang, kakak ibunya di dusun Jago Bayo, dusun para penjaga muara sungai Air Lais.

Demi mengetahui rencana itu Kucea sangat lah merasa senang, sangat menyenangkan bermain dengan dang Bako, fikir nya. Ini juga merupakan saat yang tepat untuk membalas dang Bako. Tahun lalu dang Bako membawa oleh-oleh untuk Kucea saat mengunjunginya, ada banyak koleksi Nyenyung, Kelereng dari buah Sekesea, dan Gasing berbagai ukuran.

Kucea sangat ingin membalas dang Bako dengan membawakan oleh-oleh yang spesial, Ia lalu meminta paman Bahuk membuatkan lampu cagak, paman Bahuk kemudian membuatkannya dari bahan batu napal dengan cita rasa seni yang tinggi, ditempa dengan cinta yang tak pernah diperlihatkan.

Tempat meletakkan damarnya berbentuk bunga Bokoa Iben (Rafflesia) ada dua pegangan di kiri dan kanan-nya bermotif ular dengan ekspresi sedang tersenyum. Ada dua buah lampu, satu untuk Kucea, dan satu lagi untuk dang Bako. Pagi-pagi sekali paman Bahuk mengantarkan lampu pesanan kucea tersebut sehari sebelum keberangkatan keluarga Kucea ke Jago Bayo.

Paman Bahuk datang ke rumah Kucea pagi itu sambil menjemput ayah kucea untuk bersama-sama ke hutan.

Saking girangnya Kucea pagi itu, Ia berharap matahari segera terbenam, terserah dimana, asal tenggelam. Namun matahari seperti enggan terbenam, ia seperti diam saja di posisinya, hanya setombak di atas Pematang Dasun bagai tak bergerak. Berkali-kali terdengar pekik permintaan Kucea kepada matahari agar segera terbenam.

“Hai matahari, terbenamlah! Aku mau menyalakan lampuku..” teriaknya.

Ayah dan ibu tersenyum melihat tingkah anak semata wayang mereka itu. Tak ayal beberapa orang tetangga pun kena damprat karena menertawainya.

Setelah ayah beserta rombongan berangkat ke hutan Kucea masih saja memohon kepada matahari untuk terbenam saja.

“Wahai matahari, bersinarlah lagi besok, saat ini aku tak membutuhkanmu, aku punya lampu, aku mau menyalakan lampuku..” Teriak Kucea dari halaman rumahnya sambil mengacungkan lampu barunya kepada matahari yang kemudian terlihat sedih.

Matahari menjadi gundah gulana, Ia ingin memenuhi permintaan Kucea, namun disisi lain, ini adalah waktu baginya untuk melayani bumi, matahari pun segera bersembunyi dibalik awan terdekat. Namun sejurus kemudian dari kejauhan terdengar teriakan balasan.

“Wahai Matahari, jangan pedulikan anak itu yang tidak mengerti kalau aku sedang menjemur kopi..”

Tawa warga dusun Gerbong kemudian menggema dari segala penjuru. Kucea mencari-cari sumber teriakan itu untuk mencaci makinya, sulit baginya menemukannya karena hampir semua orang di sekitar sana, di bawah pohon, di beranda rumah, di jalanan semua sedang menertawai apa yang baru saja mereka dengar.

Dengan perasaan kesal yang amat sangat, Kucea menaiki anak tangga rumahnya satu persatu dengan hentakkan keras hingga suara dentum langkahnya terdengar sampai jauh. Ibu yang sedang menumbuk padi di bawah rumah hanya tersenyum menahan tawa.

“Mana bisa kita mengatur matahari yang sudah ditentukan kapan terbit dan terbenamnya.” Gumam Ibu yang disahut nenek dengan senyuman kemudian melanjutkan tampian.

Kucea sudah teramat kesal kepada matahari, Ia kemudian berinisiatif untuk pasrah, pasrah menunggu matahari terbenam. Di beranda rumahnya, segala sesuatu dipersiapkan dengan matang, tikar, kendi air minum berikut gelasnya, lalu Kucea bersila bersandar ke dinding rumah dengan tatapan jauh ke langit yang tampak mengharu biru tanpa noda sedikitpun.

Ia bersikeras takkan melewatkan sedikitpun momen kemenangan saat matahari yang angkuh itu terbenam nantinya.

“Tunggulah kau matahari..!!.” Kucea membatin.


***


Dug.. dug.. dug.. dug.. Suara bedug dipukul bertalu-talu menghentikan semua aktivitas penduduk yang kemudian bersiap menunaikan sholat dzuhur, Kucea terhenyak dan segera terjaga melompat kuat setelah menyadari dirinya terbujur tidur bersandar di dinding, Ia segera melupakan alam lain dimana angan-nya melayang jauh ke taman lampu diantara bintang.

Dia mengucek-ngucek matanya, seraya tak percaya matahari masih bergelayut angkuh di atas sana, di atas pohon kelapa uwak gaki. “Alangkahnya engkau matahari, aku sudah tertidur kau masih saja belum mau tenggelam..” Teriaknya sambil menghantamkan kakinya ke lantai rumahnya yang terbuat dari papan sehingga berdentum. Ibu dan nenek sempat terkejut, setelah berpandangan mereka kembali membiarkan polah Kucea yang lagi kerasukan setan lampu itu.

Ibu dan nenek kemudian masuk ke rumah dari pintu dapur, kemudian menunaikan sholat dzuhur di kamar. Mereka tak menyadari keberadaan Kucea yang bersandar di daun pintu, menunggui mereka selesai menunaikan sholat.

Setelah ibu dan nenek mengucapkan salam menandai sholat telah selesai ditunaikan, Kucea langsung kepangkuan nenek dan meminta nenek berdo’a kepada Allah agar matahari segera ditenggelamkan.

“Nek, mintakan kepada Tuhan agar matahari segera tenggelam, untuk hari ini saja, hari ini saja nek, aku sudah menunggunya lama sekali tapi dia tidak juga mau tenggelam.” Rengeknya dipangkuan nenek.

Ibu dan nenek berpandangan sejenak, nenek lalu membelai kepala cucunya dengan lemah lembut sambil berkata: “Cung, Allah itu maha adil, Dia pasti marah kepada nenek kalau nenek meminta suatu yang telah ditetapkannya untuk dilanggar.”

“Aku cuma minta nenek berdo’a agar Allah menenggelamkan matahari untuk hari iniiii saja nek, aku ingin menyalakan lampu baruku.” Rengek Kucea manja.

“Apa lampu mu bisa menerangi jalan orang yang sekarang sedang mengangkut damar dan rotan di hutan cung..?” pancing nenek masih membelai kepala cucu semata wayangnya itu.

“Ayah..!?” sahut Kucea kaget dan mengangkat tubuhnya dari pangkuan nenek. Nenek tersenyum, Kucea mengerti yang Ia maksud.

“Iya.. Ayahmu sekarang sedang membutuhkan matahari untuk menerangi jalannya.” Ucap nenek lembut.

Nenek kemudian menarik tubuh Kucea kepangkuannya kembali.

“Ayahmu akan kesusahan untuk bisa sampai kerumah kalau matahari sekarang tenggelam, lebih parah lagi, ayahmu tidak bisa membawakan oleh-oleh rotan manau untuk dang Bako mu.” Lanjut nenek.

Ibu tersenyum mendengar penjelasan nenek yang sangat bijaksana dan tidak bisa dibantah oleh Kucea, ibu melepas mukenah-nya lalu berkata: “Mainlah dengan teman-temanmu, tadi Andi mencarimu mengajak main kejar-kejaran.” Katanya sambil melipat mukenah-nya. “Ibu dan nenek masih harus menumbuk padi untuk oleh-oleh Ibu besok.” Lanjutnya.

Nenek mengangkat tubuh Kucea, ditatapnya mata Kucea yang berkaca-kaca. Jelas terlihat kekecewaan yang mendalam terpancar disana. “Mainlah dulu, jangan lupa minta maaf kepada matahari, agar ia menerangi jalan ayahmu.”

Kucea mengangguk pasrah, meletakkan lampu barunya di atas meja lalu berlari menuju tangga. Beberapa waktu kemudian Ia telah berbaur bersama teman-temannya.

Cuaca siang itu begitu cerah, Kucea bermain bersama teman-temannya di bawah perdu dekat rumah kutai. Lalu kemudian memutuskan untuk mandi di pancuran tik semeak, tidak jauh dari rumah neneknya di ujung kampung. Asyik sekali mereka bermain, membendung aliran airnya dengan tumpukan batu, menyelam dan berenang.

Anak-anak seusia mereka belum diperbolehkan bermain di sungai lais tanpa didampingi orang dewasa, wak Kutai pasti marah apabila ada anak kecil yang ketahuan melanggarnya.

Setelah lelah bermain air, mereka menuju ke beranda rumah nenek Kucea, berharap ada sesuatu yang bisa mereka makan. Namun rumah nenek terkunci.

“Hadeh, terkunci..” Kecewa Doan.

“Apa kau tidak tau cara membuka pintu rumah nenekmu Yung?” Tanya Eni kepada Kucea.

“Aku masih kecil, tanganku belum sampai, nenek membukanya dari sana.” Jawab Kucea menunjuk ke lubang disamping pintu.

“Ayo kita pulang saja, aku benar-benar lapar sekarang..” Keluh Doan.

“Alangkah lanang ini, makan tulah difikirnya.” Ejek Andi.

“Apa kau belum lapar Andi..?” Tanya Seri.

“Hehehe..” Jawab Andi.

“Eh.. Aku tau dimana nenek Melebong pisang, ayo..!!” Kucea mengajak teman-temannya.

Mereka kemudian saling bahu-membahu menggali lebongan pisang nenek. Usaha mereka membuahkan hasil, namun belum semuanya matang, sebagian besarnya baru mengkal. Karena sangat lapar, setandan pisang itu pun habis mereka lahap tak bersisa, hanya meninggalkan jejak kulit pisang dimana-mana.

Setelah tak ada lagi pisang yang tersisa, mereka ke pancuran tik semeak untuk minum dan cuci tangan, kemudian beristirahat di beranda rumah nenek sambil bercerita tentang banyak hal. Tawa mereka menggema, hingga kantuk yang amat sangat menghampiri, dan tawa mereka seketika lenyap, tertidur.

* * * 

Hari menjelang magrib, namun Kucea dan teman-temannya belum pulang, Ibu Kucea bersama ibu-ibu lainnya pun mencari sampai keseluruh penjuru kampung, juga ada yang mencari ke pancuran Tik Semeak, semua tempat dimana biasanya anak-anak bermain sudah di telusuri semua, namun Kucea dan teman-temannya belum juga ditemukan. Mendengar kalau anak-anak itu membuat bendungan di pancur Tik Semeak, ada yang memperkirakan mereka bermain ke sungai Lais, sehingga pencaharian pun diarahkan ke sepanjang sungai Air Lais.

Hingga malam mereka tak jua ditemukan, beberapa warga mulai mencemaskan mereka dibawa mahluk halus, Sumei, Smat Pitak dan sebagainya.

Di dapur, ibu Kucea menangis di pangkuan nenek setelah mencari ke beberapa rumah teman Kucea yang ternyata mereka pun tengah dicemaskan orang tua mereka. Nenek juga ikut menangis tanpa tau harus berbuat apa selain membelai rambut menantunya itu dengan lembut. Ia membatalkan niatnya pulang, rasa keibuannya merasa harus menemani menantunya hingga Kucea pulang, cucu tersayang yang hanya semata wayang.

Ibu-ibu tetangga kemudian berdatangan, mereka turut prihatin atas kejadian yang menimpa Kucea dan teman-temannya. Dapur rumah Kucea kemudian dipenuhi ibu-ibu tetangga yang juga merasa kehilangan, seorang anak yang baik, suka menolong dan acap kali menghibur mereka dengan kekonyolannya.

"Baru pagi dia membuat kita semua tertawa.."

“Alangkah malang nasibku bu, empat tahun menikah baru dikaruniai seorang anak, baru empat tahun merasakan kebahagiaan memiliki anak, anak satu-satunya tumpuan kasih sayang itu hilang.” Ratap Ibu Kucea di pangkuan nenek.

Nenek tidak bisa berkata apa-apa, nenek merasa dadanya akan segera meledak, Ia baru setahun ditinggal suami, dan hari ini kehilangan cucunya.

Dikejauhan diantara pohon kemiri dan nangka, jalan setapak di belakang rumah Kucea menuju tempat ke pemandian umum di tepi sungai Air Lais, sesosok orang yang sedang memikul ikatan rotan yang cukup besar terlihat berjalan tergopoh-gopoh.

Seorang tetangga yang duduk di dekat pintu dapur berbisik, “Ayah Buyung pulang, ayah buyung pulang..” Ibu-ibu yang turut berkabung itu tak kuasa menyembunyikan kesedihan mereka, mereka segera pulang setelah berpamitan pada nenek dan ibu Kucea. Tak henti mereka menyemangati bahwa Kucea akan segera pulang dengan selamat. Mereka tau, tak wajar mengatakan kepastian itu, namun mereka percaya, kata adalah do’a. Maka mereka hanya mengatakan hal yang baik agar selalu menjadi do’a.

Selang waktu yang tak terlalu lama ayah Kucea tiba dengan hasil hutan yang cukup banyak, Ia memanggul rotan, yang di kedua ujung rotannya tergantung karung kecil berisi damar. Ibu dan nenek berusaha sekuat tenaga menahan tangis mereka yang sudah meledak sedari tadi.

Nenek mengangkat tubuh Ibu yang lemah dari pangkuannya, “Berikan air putih untuk menyambut suamimu..” Ucapnya tertahan.

Nenek segera beranjak ke kamar Kucea, melanjutkan tangisannya dengan tertelungkup di bantal. Ibu-ibu tetangga yang baru turun menyapa ayah Kucea sekedarnya dan segera berlalu, mereka takut ayah Kucea melihat air mata mereka.

Dengan tak ada perasaan apa-apa ayah Kucea menjawab tenang dan menanyakan suami mereka yang juga dijawab ibu-ibu seadanya. Ayah memang belum tau akan ada kabar buruk. Semua tampak wajar, besok Ia dan keluarganya akan pergi meninggalkan kampung untuk beberapa hari, sehingga wajar saja para tetangga ingin melepas istrinya pergi dengan beberapa pesanan yang bahkan terkadang memang tidak harus selalu untuk dipenuhi.

“Lihat itu bapak Dui, tetangga kita yang malang sudah pulang dari hutan, seharian ini dia mencari rezeki kebutuhan orang banyak. Ajaklah Ia ngobrol hingga istrinya memberi minum.” Seru mak Dui, tetangga Kucea yang tergopoh-gopoh menaiki tangga rumahnya.

Ayah Dui yang baru saja pulang mandi segera bergegas menuju rumah tetangganya dengan masih mengenakan handuk dan membawa ember sabun yang terbuat dari buah labu kayu. Berpura-pura tidak terjadi apa-apa.

Woi wat, sepertinya kau mengambil rotan lebih sedikit dari biasanya..” Sapa ayah Dui melihat ayah Kucea yang sedang menyusun rotan bawaannya di bawah rumah.

“Hari ini aku sengaja mengambil sedikit sekedar untuk oleh-oleh kami besok.” Jawab ayah Kucea.

“Woy, alangkah bagusnya, manau berkelas semua ini, manau ruas panjang.” Kagum ayah Dui. “Dapat bonus siong setalen res dekutek kalau dijual di pasar dusun raja ini wat.” Lanjutnya semakin mengagumi rotan bawaan Ayah Kucea.

“Lihat..!” Ayah Kucea memamerkan damar dari dalam karung. “Aku mengambilnya dari batang Matiak Tebo.” Jelasnya.

“Alangkah senangnya kakak Iparmu menerima oleh-oleh ini wat, mengkilat banyak lilinnya ini.” Puji ayah Dui kagum sambil memperhatikan bongkahan damar sebesar lutut di tangannya, ia memperhatikannya bak memeriksa pantulan giwang batu akik, diputar-putar, diperhatikannya setiap ditail.

“Ambillah yang itu.” Kata ayah Kucea,

“Bukannya ini untuk oleh-oleh juga..?” tanya ayah Dui sambil menoleh ke arah tetangga yang juga berdatangan ke rumah Kucea.

“Ambillah, sebagai hadiah dariku karena kau yang pertama melihat kualitasnya.” ujar ayah kucea tersenyum sambil melirikkan matanya juga ke arah tetangga lain yang segera akan tiba.

Ayah Dui tersenyum simpul dan segera memasukkan bongkahan damar itu kedalam ember antiknya setelah membisikkan terima kasih agar tak dicurigai.

Penduduk dusun Gerbong memang sering menunggu ayah Kucea pulang apabila persediaan damar di rumah mereka sudah menipis, bahkan pernah sepikul damar langsung habis diborong tetangganya dengan pembagian seperti layaknya penjatahan makanan.

Ibu Kucea sesegukkan di dapur, masih berusaha sekuat hati menahan tangis yang tak kunjung mau berhenti. Ia mencuci muka di ga’ang dan kemudian menyiapkan air putih untuk suaminya. Saat suaminya dan ayah Dui asyik berbincang, Ibu telah berada di ruang depan hendak turun menyambut suami tercintanya. Namun air mata kembali menetes, ia terduduk lesu di dekat pintu. Dengan tenaga yang tersisa menahan sesegukkan yang mulai reda itu agar tidak kembali membuncah.

Nenek yang sudah mulai reda tangisannya kembali mendekap dada setelah mengintip Ibu dari sela-sela papan kamar. “Kasihan kau nak..” Ucapnya lirih, dan air matanya pun kembali mengucur deras.

“Sudah pulang Kin..?” tanya seorang tetangga yang baru tiba.

“Syukurnya sudah, hehehe..” Jawab ayah Kucea.

“Ada bawak damar Kin..?” Tanya tetangga lainnya

“Ada ini mamak, tapi untuk oleh-oleh.” Sambil membuka dua buah karung kecil bawaannya.

“Mau kemana kamu..?” Tanya tetangga itu lagi.

“Rencananya besok kami akan mengunjungi kakak di Jago Bayo, Ia mengundang jamuan syukuran sunat anaknya.” Terang ayah Kucea sambil memperlihatkan damar yang Ia bawa.

“Woy Kin..!!” Seru semua yang melihat damar yang ditunjukkan ayah Kucea.

“Seperti ini semua yang kau dapat..?” lanjutnya sambil meraih sebongkah lagi dari dalam karung.

“Sepertinya kawanan monyet sedang ke Tebo Lai jadinya damar awet di atas batang.” Ayah Kucea memberi alasan.

“Kalau seperti ini, kapan-kapan aku ikut lah Kin..” Mamak menawarkan diri.

“Jadi mamak, setelah pulang dari Jago Bayo nanti aku ajak mamak.” Ayah Kucea setuju.

“Ada yang bisa dijual Kin..?, Kebetulan damar di rumahku tinggal sedikit.” Harap mamak.

“Tadi kami berempat mamak, aku, Bahuk, Tolib dan Jarsi, mereka rencanya menjual separuh damar mereka di pasar Gunung Selan besok.” Ayah Kucea memberi penjelasan. “Yang saya ini untuk oleh-oleh semua.” Lanjutnya.

Kelima orang tetangga itu pun maklum dan melihat ke arah tangga yang berderak. Ibu Kucea menggenggam air putih di tangannya, dan juga membawa handuk yang diselempangkan di pergelangan tangan kanannya. Ayah Kucea mulai curiga kenapa senyum istrinya tidak seperti biasanya. Ia menerima air putih itu kemudian meminumnya sampai habis dengan satu nafas.

“Alangkah haus Kin, hehehe..” Ayah Dui memecah keheningan yang disambut tawa semua yang hadir disitu.

“Iya Kin, padahal melewati sungai Lais.” Timpal yang lainnya.

Ayah Kucea juga ikut tertawa sambil menyerahkan kembali gelas kosang dan mengambil handuk dari tangan istrinya.

“Naiklah dulu ke rumah mamak, aku mau mandi dulu.” Ayah kucea pamit dan kemudian mengambil peralatan mandi yang tergantung dekat tangga dapur kemudian hilang di antara bayang pepohonan.

“Mamak, naiklah dulu ke rumah, aku buatkan kopi..” Pinta Ibu Kucea dan air mata pun kembali menetes.

“Jadi..” setuju mamak dan mengajak serta tetangga lainnya. Setelah melihat mamak dan beberapa orang tetangga itu duduk di beranda, ibu-ibu tetangga kembali mengunjungi dapur rumah Kucea. Mereka masih ingin menghibur Ibu Kucea, dan memastikan bahwa mereka tidak hidup sendirian di dunia ini.

Di unen Air lais ayah Kucea bertemu dengan rekan-rekan seperjuangannya mengambil hasil hutan hari ini, semuanya tampak normal kecuali raut wajah Bahuk, adik kandungnya.

“Ada apa Bahuk, kenapa mukamu tidak karuan seperti itu..?” Tegurnya, “apa istrimu tidak menyambutmu lagi hari ini.” Canda ayah Kucea yang disambut tawa orang-orang yang sedang mandi disana.

Bahuk juga menyeringai kecil, ayah Kucea maklum kalau senyum itu terlalu dipaksakan. Bahuk buru-buru sekali mandinya, tidak seperti biasa banyak bicara dan suka menjahili orang, bahkan hanya Bahuk yang berani menjahili tuai kutai saat mandi, Ia pernah pura-pura terinjak basahan tuai kutai hingga basahan itu melorot. Kejahilan yang menjadi pembicaraan warga tapi tak ada yang berani menertawakannya saat ditempat kejadian.

Buru-buru mandi dan buru-buru pulang tanpa banyak bicara, benar-benar aneh. Gumam ayah Kucea yang juga segera bergegas mandi dan segera pulang. Ia sengaja mengambil jalan pulang melintasi kampung, melintasi rumah ibunya di dekat pacua tik semeak sambil mencari tau apa yang sedang terjadi, batinnya. Saat sampai di depan rumah Bahuk, rumah adiknya itu tertutup dan hanya ada lampu di beranda.

‘Ada masalah apa kau Huk, kenapa tak menceritakannya padaku’ batinnya. Ayah Kucea akan segera berlalu, lalu bertemu Kunang, anak tetangga adiknya. “Kunang, nggak ngaji..?” Tanya ayah Kucea. “Tidak wak, guru ngaji kami belum pulang.” Jawab Kunang.

“O..” Ayah Kucea tidak menaruh curiga. “Kemana tobo mamak Bahuk, rumahnya tertutup seperti itu Nang..?” Tanya ayah Kucea lagi.

Dan bedug magrib terdengar menggema ke seantero dusun Gerbong. “Kunaaaaaaang.. pulang dulu..!!” Teriak kakak Kunang dari atas tangga rumahnya. “Mamak Bahuk tadi ke Hutan wak, bibik mungkin ke rumah Andi, rame disana tadi..” Jawab kunang setengah memekik sambil berlari pulang. “Apa yang terjadi di rumah Andi..?” Ayah Kucea membatin dan segera mengambil jalan pintas untuk pulang ke rumahnya. Andi adalah keponakan Bahuk, ayah Andi adalah kakak Ipar adiknya itu.

Sepanjang jalan Ayah Kucea mencoba mengait-ngaitkan penyambutan istrinya yang tidak ceria dengan kelakuan Bahuk yang juga berubah drastis tidak seperti biasanya. Ia lalu berlari kecil tak sabar ingin segera bertanya pada istrinya, ‘hanya istriku yang selalu jujur dan terbuka padaku’ Ia membatin. Saat tiba di tangga dapur, Ayah kucea kaget karena banyak sekali terompah disana. Ia segera ke tangga depan karena di dapur pasti banyak ibu-ibu tamu istrinya.

Namun di depan Ia juga mendapati banyak orang. “Ibu..!!” teriaknya keras tanpa mempedulikan orang-orang yang duduk di beranda. Di ruang tengah Bahuk menyambutnya dengan mata berkaca-kaca dan memeluknya.

“Bahuk, dimana Ibu..?” Teriaknya sembari melepaskan diri dari pelukan Bahuk, matanya mulai berkaca-kaca.

“Ibu ada di dapur kak, bersama ayuk dan tetangga kita.” Jawab Bahuk sambil menahan air matanya tak jatuh.

“Berpakaianlah dulu, Buyung belum pulang kak..”

Hampir saja ayah Kucea jatuh andai saja tidak segera ditangkap oleh Bahuk, beberapa orang tetangga yang duduk didekat mereka juga membantu.

“Tenangkan dirimu Kin, berpakaianlah dulu, rombongan pencari belum semuanya pulang, dan kita belum tau pasti apa yang terjadi dengan anak-anak kita..” Mamak Tuai Sukau coba menenangkan.

“Bahuk, aku sudah menyiapkan pakaian kakakmu di kamar..” Ibu Kucea memberi tau dari pintu kamar dan kembali ke dapur bergabung dengan Ibu-ibu yang lain.

Hampir selesai ayah Kucea berpakaian, dusun Gerbong geger. Kentongan Kutai dipukul bertalu-talu tanda berkumpul, disambut kentongan warga bersaut-sautan terdengar sampai ke desa Senali di seberang sungai.

Nenek Kucea jatuh pingsan, tangis histeris Ibu-Ibu pecah sudah. Di jalanan, Ibu-ibu menggendong anaknya berlarian penuh cemas. Semua orang tau, kentongan itu dibunyikan pertanda semua rombongan pencari telah pulang dan tidak mendapatkan hasil yang baik, atau bila hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Perkampungan tepi hutan yang dikuasi Harimau Sumatera, memang terkadang harus menerima kenyataan ganasnya sang Raja Rimba yang sedang lapar, dan dusun Gerbong sekaligus juga sebagai perkampungan di tepi batang sungai yang kerap banjir tanpa pemberitahuan sebelumnya.

Warga kemudian berbondong-bondong menuju ke rumah Kutai dengan membawa senjata yang mereka punya, bersiap menerima apapun perintah dari ketua adat. Bahkan warga dusun Senali, tetangga dusun terdekat itu juga segera berangkat ke dusun Gerbong padahal belum tau pasti apa yang terjadi disana. Mereka seperti terikat persaudaraan. Tidak sedikit warga senali yang langsung berangkat membawa senjata mereka saat mendengar kentongan kutai dusun Gerbong dibunyikan. Di dusun senali, kentongan kutai juga dibunyikan, warga juga telah berkumpul di rumah tuai kutai mereka. Beberapa orang pemuda juga sudah diutus ke dusun Taba, menyampaikan kepada kutai dusun Taba bahwa dusun Gerbong membunyikan kentongan Kutai dengan irama petanda musibah besar. Halaman rumah kutai dusun Gerbong benar-benar ramai saat itu, sementara di dalam rumah, kutai dan para sesepuh tetua adat sedang merembuk apa yang akan dilakukan.

* * * 

Di beranda rumah nenek, Kucea dan kawan-kawannya terbangun saat mendengar kentongan dipukul bersahut-sahutan. Mereka celinguk an, dan saling raba antara satu sama lainnya. Seri dan Eni tiba-tiba menangis ketakutan, mereka takut gelap, kemudian dilanjutkan tangisan takut dimarah tidak ngaji, setelah itu baru mereka menangis takut dimarah telat pulang.

“Masih ada yang akan kau tangisi Seri..?” Tanya Doyon.

“Aku rasa sudah tidak ada lagi, Kau Eni..?” Tanya Seri Kepada Eni.

“Aku masih takut..” Jawab Eni.

“Coba ada lampu..” Celetuk Andi.

“Lampu..!!” Tiba-tiba Kucea teringat akan lampunya.

“Iya lampu, apa kau tau tempatnya yung..?”

“Kawan-kawan, ayo kerumahku, aku punya lampu baru yang bagus sekali..” Teriak Kucea

kawan-kawannya pun tertawa.

“Matahari.. terbenamlah..! aku mau menghidupkan lampuku..” Goda Caul yang tubuhnya agak gemuk menirukan permintaan Kucea kepada matahari.

Tawa mereka semakin keras. Sebenarnya Kucea sangat malu waktu itu, Ia pun menyembelkan lidahnya kearah Caul, tapi tak ada yang melihat karena suasana gelap. Beruntung malam itu bulan berusaha menerangi jalan mereka, bulan masih terlihat lengkungannya, dua hari lagi akan terlihat sebelah. Mereka sepakat untuk melintasi jalan dusun, Seri dan Eni takut melintasi jalan pintas yang masih banyak pohon besarnya, pasti gelap alasan mereka.

Sesuai kesepakatan, mereka pulang melintasi jalan dusun setengah berlari agar cepat sampai ke rumah Kucea. Mereka berusaha menghindari keramaian di rumah ketua kutai agar tidak ketahuan dan disuruh segera pulang.

“Seri.. ramai sekali di rumahmu ada acara apa..?” Tanya Eni.

“Entahlah, ayahku memang sering mengumpulkan orang..” Jawab Seri.

“Dan semua orang harus datang kalau dipanggil ayahmu kalau tidak mau dimarahi, hahaha..” Doan menimpali.

“Cepatlah teman-teman, lampuku menunggu untuk dinyalakan..” Teriak Kucea yang tidak memperdulikan keadaan.

“Yung.. Buyung.. jangan lewat situ, nanti aku disuruh pulang kalau terlihat sama ayahku..!!” Teriak andi tertahan.

“Iya, kita lewat belakang rumah uwak bapak dang Men saja..” Eni ikut menimpali.

“Tapikan disitu gelap Ni..” Celetuk Caul.

“Tapikan disini ramai, kita pasti disuruh pulang kalau ketemu ayah kita..” Eni memberi alasan.

“Kesana dulu..” Ajak andi sambil menunjuk bunga pagar rumah Seri.

Mereka segera masuk ke sana, didalamnya ada ruang yang tertutup rimbunan dedaunan yang merupakan tempat rahasia mereka dan memang tidak akan terlihat oleh orang-orang walau tengah hari sekalipun. Disana mereka berunding, tak lama kemudian mereka keluar mengendap-ngendap dan akhirnya sampai ke depan rumah Kucea.

Di depan rumahnya, Kucea segera berlari melintasi halaman dan menaiki tangga, ditengah tangga ia baru menyadari belum melepas terompahnya. Ia berusaha melepas terompahnya sembari berlari, tanpa disadari terompahnya malah tersangkut di anak tangga sehingga Kucea terjerambab lalu bergulingan jatuh menggelinding, terhenti saat kaki kananya tersangkut di kelang anak tangga.

“Maaaakk..” Teriak Kucea lalu menangis sejadi-jadinya.

Teman-temannya yang menunggu di bawah rumah kaget dan segera memastikan apa yang telah terjadi. Yah, Kucea tersangkut di anak tangga. Seri dan Eni juga ikut menangis prihatin melihat keadaan temannya itu, Caul, Andi dan Doan mencoba melepaskan Kucea dari ketersangkutannya. Ibu Kucea, nenek beserta ibu-ibu lainnya segera muncul dan melihat apa yang terjadi. Tetangga-tetangga yang mendengar kejadian itupun segera mendekati sumber kegaduhan.

“Alangkah sakitnya mak, tolong aku nek..” Rintih Kucea.

Ibu Kucea segera membantu Caul, Andi dan Doan melepaskan Kucea dari ketersangkutan dibantu ibu-ibu yang lain. Kucea masih meraung-raung sambil memegangi kepalanya yang juga sempat terbentur anak tangga. Darah segar mengalir dari celah robekan kepala Kucea yang semakin membuat Ibu panik. Kucea digulingkan diruang tengah, Ibu-ibu tetangga menyiapkan kompres dan menyiapkan obat-obatan, daun Blano untuk penahan rasa sakit, daun mlaysia untuk penahan darah, daun Puding Merah untuk mengatasi lebam, dan bubuk Kopi untuk luka bila darahnya sudah tidak mengucur.

Emang dasar Ibu-ibu kalau sudah panik, mereka lupa perihal yang lebih penting. Walaupun membutuhkan waktu yang cukup lama, akhirnya ada juga yang menyadari bahwa Kucea dan kawan-kawannya dinyatakan hilang, dan sedang ada musyawarah besar untuk masalah ini. Seorang ibu paruh baya yang baru saja melumatkan daun mlaysia menyadarkan mereka semua yang ada disana.

“Alangkah kita, disini kita membiarkan suami-suami kita dalam kecemasan, dan membiarkan ibu anak-anak ini sedih..” Ujarnya sambil melihat ke arah teman-teman Kucea.

“Masya Allah, Astagfirullahul adzim..” Ucap ibu-ibu lain yang ada disana.

“Mari kita antarkan anak-anak ini kerumah Kutai..” Ujar salah seorang perempuan yang masih muda dan disambut isak tangis Eni, Ical, Andi dan Doan. Mereka tersedu-sedu tak mau dibawa ke rumah kutai, cuma Seri yang tertunduk pasrah.

“hu.. hu.. hu.. Jangan bawa aku ke rumah uwak kutai, hu.. hu..hu.. aku mau pulang saja.. hu.. hu..” Pinta Andi.

“hu.. hu.. hu.. Bukan salah kami Buyung jatuh tadi wak, hu.. hu.. hu.. Buyung jatuh sendiri..” Doan coba memberi pembelaan.

“hu.. hu.. hu.. Kami tadi dibawah rumah wak.. nian bukan kami.. hu.. hu.. hu..” Ical menimpali.

“Bukan karena Buyung jatuh, tapi kamu-kamu ini dianggap hilang, orang sudah mencari kalian sampai hilir sungai Lais dan ke pinggir hutan sampai sungai kemangar.” Ibu Kucea menjelaskan.

“Kami dimarah nanti di rumah ku bik..” Akhirnya Seri menangis juga yang membuat Ical, Andi, Eni dan Doan menangis semakin keras, mereka menghiba agar tidak dibawa ke rumah Kutai, Kucea pun ikut menangis karena takut dimarahi ketua adat.

Bedug pertanda telah masuk waktu Isya terdengar dari desa senali, selang beberapa waktu juga terdengar di surau dusun mereka. Setelah puas membujuk dengan halus tidak mendapatkan hasil, beberapa orang ibu-ibu mengambil inisiatif untuk menggendong mereka semua ke rumah kutai. Ical mencoba memberontak dengan mengamuk, tapi kalah sigap dengan emak-emak zaman old yang diajari beladiri.

Melihat Ical dibikin tak berdaya oleh ibu-ibu itu, Andi dan kawan-kawan hanya pasrah saja saat digendong ke rumah kutai, masih dengan menghiba memohon diantar pulang saja ke rumah.

* * * 

Dirumah kutai masih sangat ramai, warga yang menunggu keputusan adat duduk berkelompok-kelompok di halaman, sebagian lagi ada yang telah memisahkan diri mengelompok di beranda rumah terdekat. Uwak Siti, istri Uwak Kutai yang terkenal sebagai wanita paling tangguh sedusun gerbong kali ini tak mampu menyimpan kerisauannya. Ia meneteskan air mata, yang belum pernah dilihat warga dusun gerbong sebelumnya. Walau senyuman terpasang saat menyambut tetangganya yang berkunjung, mereka tau, beban itu sangat berat sekarang ini. Ibu mana yang sanggup kehilangan anaknya.

Datuk ketua adat tercenung setelah mendapat laporan kalau terakhir anaknya dan kawan-kawan membuat bendungan di pancuran tik semeak, sumber air bersih bagi warga dusun Gerbong. Pancuran tik semeak di belakang rumah nenek Kucea memang tak jauh dari pemandian umum warganya. Prediksi terakhir mereka bosan di bendungan yang mereka buat kemudian berniat mencoba yang lebih ekstrem, aliran sungai Lais.

Semua peserta sidang menunggu keputusaan datuk ketua adat, namun yang ditunggu hanya diam tertunduk dengan tatapan kosong. Datuk ketua suku pengucak memberanikan diri membuka suara,

“Kalau menurut perkiraan..” Memandang ke arah ketua adat, tetap tidak ada tanggapan. “mereka terbawa arus sungai Lais..” Lanjutnya.

“Bagaimana kalau kita mencarinya di sungai Lais..” Timpal khotib. Masih tidak ada tanggapan.

“Iyalah, masa diperkirakan disungai kita mencarinya di atas pohon..” Celetuk ketua hulubalang mengejek.

Ketua adat mengangkat kepalanya dan menatap lekat ketua hulubalang. Ketua hulubalang jadi salah tingkah dibuatnya, garuk-garuk, plonga-plongo, rasa-rasa mau menunduk tapi tidak jadi, semakin serba salah karena menyadari semua mata tertuju padanya.

“Maaf datuk ketua adat..” Datuk ketua suku depatai memecah ketegangan, “Sekali lagi maaf datuk, dasarnya keputusan kita semua disini ditunggu oleh warga diluar sana..” Ketua suku depatai memandangi seluruh yang hadir di ruangan itu, ia menarik nafas yang agak panjang, kemudian “Kita semuanya disini cemas, dan saya rasa kita semua berharap hal yang baik bagi anak-anak kita itu bila kita semakin cepat menemukan mereka..”

“Benar datuk ketua adat, kami ingin segera menemukan mereka..” Ketua hulubalang memotong pembicaraan datuk ketua suku depatai.

Semua mata kembali tertuju padanya.

“Jadi menurut saya..” datuk ketua sukau depatai kembali melanjutkan setelah tadi terpotong, “untuk memberi ketenangan kepada warga, ada banyak baiknya kalau kita mengutus pencarian ke sungai lais.” Datuk ketua adat menarik nafas panjang kemudian melepaskannya perlahan, suasana kembali hening.

“Satu orang dari mereka mendapat celaka, lima lainnya akan diantar kesini.” Demikian ucap datuk ketua adat.

“Apa maksud datuk ketua adat..?” Tanya datuk ketua suku jemalai harap-harap cemas. “Siapa yang celaka datuk..?” Lanjutnya.

“Men..! berdo’alah agar anakmu baik-baik saja.” Hardik ketua adat. “Aku rasa mereka sekarang dalam perjalanan.” Kemudian datuk ketua adat berdiri dan meminta jalan untuk keluar.

“Mungkin sebaiknya kita tidak memberitahukan warga tentang sesuatu yang belum pasti datuk ketua adat..” Datuk ketua suku depatai kembali memberi saran.

“Aku mau buang air..” Jawab datuk ketua adat. “dan itu sudah pasti..” lanjut datuk ketua adat tenang.

Setelah datuk ketua adat keluar, riuhlah suara bisikan di ruangan itu. Mereka seperti baru saja mendapatkan hak bicara mereka kembali, walau hanya setengah berbisik.

Di halaman, warga yang sedari tadi menunggu keputusan segera berdiri bersiap menerima perintah dari datuk ketua adat yang telah menuruni tangga. Namun datuk ketua adat tidak memperdulikan mereka, Ia langsung pergi begitu saja ke belakang rumahnya. Warga semakin gundah gulana, terlebih ayah Kucea, betapa Ia sangat membutuhkan pengayoman saat ini, Ia tertunduk pilu melihat datuk ketua adat yang tidak mempedulikan nasibnya.

“Kenapa orang angkuh itu yang menjadi ketua adat..” gerutunya. Bahuk dan beberapa orang warga mendengar gerutu Ayah Kucea, mereka maklum, siapa saja bisa emosi saat menunggu keputusan menyangkut keselamatan keluarganya.

Segera Bahuk menemui kakaknya yang kembali terduduk lunglai tertunduk lesu. “Kak, kalau kakak saat ini cemas, maka sebenarnya kutai juga sama dengan kakak. Seri anak bungsunya juga belum pulang kak..” Ayah Kucea menatap tajam adiknya dengan mata berkaca-kaca,

“Dia punya tiga orang anak, Bahuk, aku hanya punya satu, Huk, satu, Buyung itu anak tertuaku, anak tengahku dan anak bungsuku, Paham!?.”

“Iya kak.. maaf, sekarang aku baru paham..” Bahuk mengalah tidak mau berdebat dengan kakaknya yang sedang mudah terpancing emosi.

Bahuk lalu duduk di samping kakaknya yang sedang risau dengan keadaan hati yang sama, Ia mengajak kakaknya berkeranan, seperti masa mereka kecil saat sedang bermain bersama. Warga kembali berdiri dan kali ini segera menyongsong ketua adat yang telah kembali dari belakang rumah, ketua adat lalu menuju halaman menemui warganya. Melihat ketua adat menuju ke halaman, sebagian warga yang menunggu di beranda tetangga ketua adat pun segera berlarian menuju halaman rumah ketua adat.

Alhasil, gaduhlah suara dari rumah-rumah panggung berlantai papan itu. Kegaduhan itu sempat mengundang penasaran tetua sesepuh dan pemangku adat, mereka keluar menuju beranda. Bahkan ibu-ibu di dapur pun turut bertanya-tanya dan sibuk mengintip dari celah-celah dinding, saling bertanya ada apa, tapi semuanya memang tidak tau apa-apa.

“Ada yang melihat Ikin..?” Tanya ketua adat kepada warga dihalaman.

“Ikin..!! Ikin..!!, dicari kutai..” Teriak warga saling bersahutan.

Bahuk segera mengacungkan tombaknya, “Disini..! disini..!” Teriaknya.

Dengan setia mendampingi kakaknya menghadap kutai. “Beri jalan, beri jalan..” pintanya kepada warga yang memang sangat berjubel itu.

“Saya datuk ketua adat..” Ayah kucea takzim memberi tabik setelah tiba di hadapan datuk ketua adat.

“Kin pulanglah dulu, coba kau lihat keadaan anakmu, Buyung sangat membutuhkanmu di rumah sekarang..” Ujar datuk ketua adat yang membuat bingung semua warga disana.

Belum ada yang sempat bertanya, datuk ketua adat melanjutkan “Semua warga pulanglah, bila anak-anak kita tidak kembali hingga subuh nanti, baru kita akan mencarinya setelah matahari terbit, sekarang pulanglah, simpan tenaga untuk besok..” Tak ada satupun warga yang beranjak dari tempatnya, mereka memandang bingung kepada datuk ketua adat.

Terlebih lagi Ayah Kucea, gemertak giginya malah bisa didengar oleh datuk ketua adat, datuk ketua adat tersenyum, lalu meninggalkan kerumunan warga.

“Sekarang aku butuh istirahat..” Ujar datuk ketua adat kepada para sesepuh dan tetua adat yang masih berdiri di beranda rumahnya.

Setelah ketua adat masuk kerumahnya, sesepuh dan tetua adat pun turun dalam keadaan bingung.

“Datuk bagaimana..?” Tanya seorang warga, ternyata mereka juga bingung, kemudian bergabung dengan kerumunan warga dan tak tau apa yang mungkin bisa dibicarakan.

Suasana menjadi hening dibawah sinar rembulan malam itu, hanya terdengar suara jangkrik dan kodok yang saling bersahutan, namun tidak ada yang mempedulikannya. Tidak ada seorangpun yang mau angkat bicara, mereka asik dengan pikiran mereka masing-masing. Samar-samar terdengar suara sesegukan tangis tertahan, ayah Kucea sudah tidak mampu lagi menahannya, dadanya serasa ingin dihimpit beban yang lebih berat dari semua beban yang pernah membebaninya. Rasa sedih bercampur marah, benci, dan kerinduan membuat hatinya menumbuhkan penyesalan.

Bahuk menepuk-nepuk punggung kakaknya mencoba menenangkan, tapi sudah terlanjur meledak. Warga dihalaman itu semakin tertunduk dan semakin pula tidak tau harus melakukan apa. Bedug bertanda waktu telah masuk Isya terdengar dari surau desa senali, petugas bilal segera berlari ke surau. Tak lama kemudian, bedug surau dusun Gerbong pun terdengar disusul kumandang adzan. Warga yang jongkok berjama’ah di sekitar rumah ketua adat itu pun membubarkan diri, berbondong-bondong menuju surau.

Surau itu berukuran 8x8 M2 yang dibangun pendahulu dusun Gerbong. Berbentuk rumah panggung dengan tiang sepinggang, berlantai papan beratap ijuk dan rumbia. Kali ini surau itu terlalu kecil untuk dapat menampung mereka semua, layaknya sholat Ied, jamaah berjejal sampai ke halaman.

Seusai menunaikan sholat Isya berjama’ah, Ketua suku Jemalai mencari ayah Kucea. “Kin, menurut kabarnya ada yang melihat Buyung, Ical, Doan, Andi, Eni dan Seri tadi sore main di pancuran tik semeak, mereka membuat bendungan disana, dalam sidang tadi kami memperkirakan kalau mereka bosan dan memberanikan diri main di sungai lais.” Jelas ketua suku jemalai.

“Lalu kami diminta membubarkan diri dan memulai pencariannya besok..?” Tanya ayah Kucea sambil tersenyum pedih.

“Itu bukan keputusan kami, kutai bilang satu orang mendapat celaka, yang lima lagi akan diantarkan ke rumahnya.” Ketua suku jemalai membela diri.

“Yang disampaikan kutai itu banyak benarnya.” Ketua suku raden menimpali.

“Maksud dang tuai sukau satu mendapat celaka dan lima diantar ke rumahnya..?” Tanya ketua suku jemalai.

“Bukan, bukan yang itu..” Ketua suku raden menenangkan.

“Terus yang mana yang benar menurut dang tuai sukau..?”

“Kita turun mencari setelah matahari telah terbit, malam-malam begini malah bisa membuat kita semakin ditimpa masalah. Apalagi di lubuk gerbong yang luas dalam.” Ketua suku raden menjelaskan.

Ayah Kucea kembali menitikkan air mata mendengar penjelasan datuk ketua suku raden, getir memang, kemudian Ia pamit memisahkan diri.

Bahuk yang sedari tadi selalu mendampingi kakaknya menyampaikan tabik kepada kedua ketua suku dan mengikuti kakaknya.

“Kak, kita bagaimana..?” tanya Bahuk.

Ayah Kucea cuma menoleh kemudian menghembuskan nafasnya yang terdengar berat.

“Sejujurnya, aku tidak mengerti kode isyarat kak..” Ujar Bahuk berharap mendapatkan penjelasan, Ia mengambil obornya yang tersandar pada tiang obor surau diantara obor-obor lainnya. Ia tidak menyalakannya, karena sinar rembulan masih cukup menerangi jalanan.

Tiba-tiba mang Katri, ketua keamanan, merebut perhatian semua warga. Dari tangga surau Ia menyampaikan orasinya “Uwak, datuk, adik, kakak, dan mamak semuanya, saya tidak setuju kalau kita membiarkan anak-anak, adik cucu keponakan kita itu berjuang sendiri menyelamatkan hidupnya. Dan kita tidur nyenyak dirumah tanpa melakukan apa-apa. Setuju..!!?” teriaknya berapi-api sambil mengacungkan lengannya ke udara.

Namun hening, tidak ada yang menanggapinya. Ketua suku depatai geleng-geleng melihat polah mang Katri, ia mengenakan terompahnya dan segera berlalu diikuti sebagian besar warga.

Ketua suku jemalai menghampiri mang Katri yang mulai salah tingkah karena merasa tidak dipedulikan.

“Aku akan ikut kalau ketua keamanan mencari ke air lais, siapa saja yang mau ikut mari ikut bersama kami..” ucapnya.

Beberapa orang warga mulai bingung lagi, mengikuti perintah kutai atau mengikuti ajakan ketua keamanan dan ketua suku jemalai.

“Pergilah ikut ketua keamanan dan ketua suku jemalai kalau kalian bisa melihat kedalam lubuk gerbong, pergilah..!! bila kalian tahan menyelam di kedalaman air lais yang dingin malam ini, pergilah..!! bagi kalian yang yakin hitam di bukit besar itu tidak akan menurunkan hujan di hulu sungai..” Datuk Imam juga menyampaikan pidatonya sembari berjalan melewati warga yang mulai mendukung mang Katri dan ketua suku jemalai.

Warga yang tersisa itu lalu memberi tabik kepada ketua suku jemalai dan ketua keamanan, kemudian membubarkan diri.

“Uwak lebih memilih membiarkan anakku tak ada kabarnya wak..?” Tanya ayah Kucea ketika datuk imam telah dekat dengannya.

“Aku lebih memilih kalian siap menerima kenyataan, bahwa kita hanyalah hamba, manusia yang lemah yang tak bisa melakukan apa-apa tanpa pertolongan Allah.” Jawab datuk imam lembut, kemudian menepuk pundak ayah Kucea. “Aku memilih Jolong menjadi kutai karena dia bisa berpikir tanpa emosi.” Lanjut datuk imam sambil berlalu.

“Oya Kin..” Datuk imam berbalik, “aku ingin tandang ke rumahmu bila malam ini kau ada di rumah.”

“Baiklah wak, senang uwak imam mau tandang kerumah kami..” Jawab ayah Kucea bergegas mengejar datuk imam, diikuti Bahuk.

Sayup-sayup dari arah rumah kutai terdengar pekik Ibu-ibu. “Ada apalagi itu..?” tanya Bahuk. Datuk Imam mulai bimbang, melanjutkan ke rumah Kucea, atau memastikan dulu apa yang terjadi dengan ibu-ibu di rumah kutai.

“Aaa.. Kin, Huk, kita lihat dulu apa yang terjadi disana.” Ajak datuk imam kepada ayah Kucea dan bahuk.

Bahuk dan ayah Kucea setuju, mereka bertiga mempercepat langkah mereka menuju ke rumah kutai.

* * * 

Utusan kutai Senali tiba di dusun Tabeak saat bedug Isya dibunyikan, mereka diterima langsung oleh ketua kutai dan segera menyampaikan maksud kedatangannya.

“Tabeak adalah saudara orang Gerbong, musibah bagi dusun Gerbong berarti juga musibah bagi kami.” Demikian kutai tabeak.

Kutai Tabeak pun memerintahkan anaknya memanggil beberapa orang pemuda. Tak berapa lama lima orang pemuda datang menghadap kerumah ketua kutai.

“Ini Ilul dan kawan-kawannya, utusan kutai Senali,” Kutai mengenalkan tamunya kepada para pemuda yang diikuti anggukkan kepala tanda hormat pemuda Tabeak kepada utusan kutai Senali yang juga dibalas oleh Ilul dan kawan-kawan.

“Mereka ini menyampaikan kabar bahwa dusun Gerbong membunyikan tanda musibah besar.” Lanjut ketua kutai Tabeak . “Ajaklah kawan-kawan kalian ke dusun Gerbong, bantu apa yang bisa kalian bantu disana, dan kau Riyan, segera pulang kesini setelah mendapatkan kabar apa yang terjadi di dusun Gerbong.” Demikian Titah kutai Taba.

“Kalau begitu perintah datuk, kami mohon izin turun mengumpulkan teman-teman dan berpamitan kepada orang tua kami tuk.” Riyan menanggapi perintah kutai dan segera beranjak turun diikuti empat pemuda lainnya.

Tak berapa lama, Riyan dan teman-temannya telah kembali kerumah kutai membawa serta beberapa pemuda. Obor mereka terlihat keren berarak mengundang penasaran warga, beberapa orang bergegas menuju ke rumah kutai, memastikan semuanya baik-baik saja. Menyadari berkompeten membuat geger warga, para pemuda itu pun segera memadamkan obornya.

Sebelum lebih banyak lagi warganya berkumpul, kutai segera memerintahkan para pemuda berangkat, “Jangan menghidupkan obor sebelum kalian melintasi persawahan di seberang sungai Nokan, sinar bulan cukup menerangi kalian sampai disana.” Perintah kutai Tabeak.

Tiga puluh empat orang pemuda berangkat meninggalkan dusun Tabeak bersama dengan empat orang utusan kutai Senali, beberapa warga yang memiliki keluarga di Dusun Gerbong ikut menyusul, harap cemas ingin memastikan saudara mereka di dusun Gerbong baik-baik saja. Ketika akan menyeberangi sungai Nokan rembulan tertutup awan tebal, mereka tak dapat memastikan langkah yang tepat saat akan menyeberangi sungai besar itu. Obor pun terpaksa dihidupkan, sehingga dari kejauhan terlihat seperti pawai obor yang panjang melintasi pematang sawah.

Mereka melalui tebing ngedei yang lumayan tinggi, sehingga terlihat oleh warga Tabeak Sadei Kauk. Anak-anak yang bermain di halaman menunjuk-nunjuk dengan decak kagum tak hentinya mengundang perhatian.

“Alangkah banyak pemuda kita yang ngapel ke Senali..” Ujar seorang warga yang sedang asyik main domino di beranda sebuah rumah panggung.

“Belum tentu ke Senali semua itu, separo tuh mungkin ke dusun Gerbong.” Celetuk yang bertopi Cakik.

“Iyalah, tidak tertampung dengan Senali kalau sebanyak itu.” Canda yang mengalungi kelapa dan disambut tawa.

“Tapi kita dulu berangkat sore kalau mau main ke Senali atau Ke Gerbong.” Ujar yang pernah ngapel ke Senali dan ke Gerbong.

“Jangan-jangan..”

“Apa..?”

“Apa mungkin mereka ngandun..?”

“Tapi tidak ada kabar warga kita yang berkelahi..”

“Ah sudahlah, mungkin itu orang-orang yang mau berangkat ke Lebong. Karena bawaan mereka banyak, jadi mereka berangkat malam biar tidak kemalaman sampainya.” Opsi prediksi yang lebih masuk akal dan diterima oleh yang lainya.

Mereka pun kembali mengatur strategi untuk menang.

* * * 

Di rumah kutai dusun Gerbong, Ibu-ibu membereskan hidangan di ruang tengah dimana tadi musyawarah adat dilaksanakan. Uwak Siti, istri uwak kutai masih terduduk lemas didampingi sanak saudara dan tetangganya di dapur sambil memeluk Seruni dan Boby dengan erat. Ia tak ingin melepaskan kedua anaknya itu dari dekapannya.

Di dalam gendongan ibu-ibu, Doan, Andi, Ical, dan Eni yang menyadari mereka akan segera tiba di rumah kutai menjerit histeris, meraung-raung meminta belas kasihan agar tidak dibawa kesana. Tapi ibu-ibu yang membawa mereka telah sangat erat menggendong mereka dalam pelukan, sangat kecil sekali kemungkinan dapat melepaskan diri.

Jeritan mereka terdengar sampai ke dapur rumah kutai, ibu-ibu yang tadi membereskan ruang tengah segera memastikan apa yang terjadi dan menyambut riang, sehingga semua seisi rumah itu gaduh karena goncangan ibu-ibu yang berlarian ingin segera memastikan dengan mata mereka sendiri.

Kutai yang sedang berzikir di kamar tidurnya menghentikan dzikirnya dan lalu tersungkur menghaturkan rasa syukur kepada Allah, karena masih diizinkan merawat anak bungsunya. Air mata nya membasahi sajadah.

Riuh warga yang kembali berbondong-bondong menuju rumah kutai saat itu, sebagai rasa bahagia mereka, dan menangis haru.

Doan, Eni, Andi, Ical dan Seri berpandangan, merasa bingung mengapa mereka disambut dengan tangisan yang sebegitu sangat membahana, semua orang pun berebut mengelus kepala mereka. Uwak siti langsung menyambut Seri di ikuti Seruni yang matanya masih merah. Bibi Linda yang menggendong Seri menyerahkannya kepada uwak Siti. Uwak siti memeluknya, menciuminya, hingga kemudian jatuh pingsan.

Seri yang menangis dalam kebingungan kembali digendong bibi Linda, Seruni memeluk ibunya yang tak sadarkan diri. Beberapa warga segera membantu membawa uwak Siti ke dalam rumah. Ibu Ical, Ibu Eni, Ibu Andi dan Ibu Doan telah tiba di kerumunan itu bersama warga lainnya. Memekik-mekik memanggil, mencari keberadaan anaknya. Layaknya bertahun-tahun berpisah, mendekapnya erat bak telah lama sekali tak bertemu. Yang semakin membuat Ical, Eni, Andi dan Doan semakin bingung, mereka bertanya-tanya sebenarnya apa yang telah terjadi, sehingga mereka begitu dirindukan.

Beberapa orang menggelar tikar dihalaman rumah kutai, yang segera dikelilingi warga. Ical, Eni, Doan dan Andi diminta duduk di tikar didampingi ibu mereka, tak lama kemudian Seri juga diantarkan dan bergabung dengan keempat teman sepermasalahannya ditemani Seruni yang tak ingin lagi berpisah dengan adiknya itu.

Uwak Siti baru saja siuman, belum diperbolehkan bangun oleh nenek Sia yang mengobatinya, minen Talen, adik kandung uwak Siti mendampingi Seri mewakili kakaknya.

“Seruni.. apa kami telah meninggalkan kampung beberapa kali purnama seperti nan’ei negrai cu’up Semilan..?” Tanya Doan sambil berbisik kepada Seruni.

“Besok kalian tidak boleh lagi main dengan Seri..!!” jawab Seruni ketus tak menjawab pertanyaan Doan.

Dan mereka segera berdiam diri karena beberapa sepuh dan pemangku adat juga telah duduk melingkar ditepi tikar mereka menunggu ketua kutai, setelah menunggu cukup lama dan kutai belum juga hadir, datuk ketua suku depatai menyuruh seseorang untuk menjemput ketua kutai.

Semua orang saling pandang melihat siapa kiranya yang pantas menjemput kutai. Mamak Kardi, adik kandung kutai segera bangkit, Ia menyadari warga agak segan menjemput kakaknya.

“Dari mana saja kalian..?” Tanya ketua suku raden memecah keheningan kepada Ical, Andi, Eni dan Seri. Mereka sekarang menyadari bahwa mereka sedang disidang, secara perlahan tapi pasti mereka mulai meneteskan air mata. Seruni juga ikut menangis melihat Seri menangis.

“Maafkan kami datuk..” Rengek Andi. “Kami janji tidak akan mencuri pisang nenek Buyung lagi datuk, huk huk huk..” lanjutnya.

Beberapa warga tersenyum mendengar pengakuan Andi tersebut.

“Kalian sudah makan..?” Tanya datuk ketua suku pengucak.

“Cuma makan pisang lebong nenek Buyung datuk, kami tidak bisa membuka rumahnya.” Jawab Andi.

“Bukannya kalian tadi bersama Buyung, dimana dia..?”

“Buyung jatuh dari tangga rumahnya datuk, dia tidak bisa dibawa kesini, sepertinya kakinya Teklis.” Jelas salah seorang ibu-ibu.

“Beri anak-anak ini makanan terlebih dahulu..” Datuk ketua suku pengucak memberi perintah.

Minen Talen menghampiri ke lima anak itu, memberi tabik kepada para tetua adat. “Di rumahku masih ada makanan, semoga cukup untuk anak-anak ini.” Katanya.

“Bawalah..!!” Seru datuk ketua suku pengucak. Minen Talen mengajak mereka berlima ke rumahnya.

“Kau mau kemana mak Eni..?” Tanya datuk ketua suku depatai yang melihat ibu eni beranjak dari tempat duduknya.

“Menemani anakku datuk..” jawab ibu Eni.

“Kau dan Ibu yang lain tetap disini, siapa yang mewakili ibunya Buyung..?” tegas datuk ketua suku depatai.

* * * 

Datuk raja rimba sejenak mendongak ke langit, kemudian bersiul menutup ceritanya. Aku termangu-mangu, sulit sekali rasanya membawa alam bawah sadar ku kembali dari cerita datuk, yang membuat aku merindukan kehangatan keluarga. Kekeluargaan masih sangat dijunjung tinggi, kehidupan masih saling peduli, saling hormat-menghormati.

“hemm.. mungkin saja kenyataanya tidaklah sebagus ceritanya..” Aku membatin.

“Datuk.. siapakah sebenarnya datuk..?” Tanyaku menghentikan siulannya.

“Kenapa kau menanyakannya..?”

“Datuk mengetahui cerita yang tidak pernah diceritakan kepada kami, tentang kekeluargaan tiga penduduk desa yang saling peduli, tidak terjadi disaat aku masih remaja, saat itu bahkan bermusuhan.” Aku menghela nafas panjang mengingat aku pernah dikejar pemuda Tabeak hanya karena aku mengaku orang desa Kuro Tidur.

Datuk memperhatikan aku dengan tatapan iba, kemudian mengepak-ngepakkan telinganya. “Kalau kau tak mengenal aku, lalu kenapa kau memanggilku datuk, Khoi..?” Tanyanya.

“Karena datuk memanggilku cucu..” Jawabku.

“Dari mana kau yakin kalau aku adalah seorang datuk..?”

“Sepertinya datuk tidak memakai celana..” Jawabku masih dengan tidak melihat padanya.

Tak kusangka Ia melompat berdiri kemudian mengeram, aku kaget dan menyadari kata-kataku. Aku ingin meminta maaf bila kata-kataku salah.

“Oh iya, kau melihatnya..” katanya sembari melihat ke selangkangan belakangnya dengan kepala diselipkan diantara kaki depan. Aku bingung antara ingin tertawa dan mengernyitkan dahi. Lalu aku melupakan permohonan maaf dan mengambil inisiatif untuk berdiri, membalik-balikkan badan melepaskan ketegangan syaraf-syaraf di punggungku. Terdengar suara gemeretak, lega sekali rasanya.

“Hei..! Apa aku sudah mengatakan kalau sungai ini dibuat oleh seorang pemuda yang kakinya pincang..?” Tanya datuk membuyarkan konsentrasiku.

Aku menganggukkan kepalaku. “Iya datuk, sudah tiga kali.” Jawabku.

“Aku juga akan menceritakannya kepadamu bila kau mau mendengarnya..” Aku menoleh, datuk kembali tersenyum memperlihatkan gingsulnya yang sebesar jari kelingking ku.

“Apa kau sudah siap mendengarkannya..?” Tanyanya dengan sorotan mata yang berbinar-binar.

“Oyah datuk..” Aku memasang wajah seperti kelupaan sesuatu, “Apa aku pernah menanyakan siapa sebenarnya datuk..?” Tanyaku. Datuk tergolek kecewa.

“Maafkan aku kalau pertanyaanku tak layak datuk..” Aku meminta maaf. “Mungkin seperti itu pulalah mengapa banyak kisah lama yang tidak disampaikan kepada kami, karena sebuah kerahasiaan..” Aku menuju kearah datuk yang sepertinya terkesima mendengar ucapanku yang terucap secara dewasa, kemudian aku memberanikan diri untuk bersandar di tubuhnya. Aku sempat shock saat datuk menjilati pipiku, kemudian rambutku. Lidahnya terasa amat lengket dan sangat menyerap seperti seluruh daging dikepalaku akan segera terhisap kedalam mulutnya, dan aku bersyukur karena masih bisa menuliskan cerita ini.

Setelah merasa cukup, datuk kembali mengepak-ngepakkan telinganya dan membasahi hidungnya. “Kau tak perlu tau siapa aku cung, karena aku tak akan pernah nyata, buruk bagi yang terdahulu atau mungkin kebaikan bagi yang akan datang.” Ia kembali menjilati kepalaku lagi.

“Kau lihat, kita berada di zona mati sekarang. Hanya kita berdua lah yang hidup, dan air sungai ini yang bergerak.” Lanjut datuk. “Namun sebenarnya bukan tentang hidup atau mati, tapi karena saat ini waktu sedang terhenti.” Datuk mengalihkan pandangannya ke langit,

“Apa matahari telah memiliki cukup waktu untuk seharusnya sampai diatas kita..?” Tanyanya. Aku menatap langit yang tatanannya yang tak berubah, memang seharusnya matahari telah memiliki cukup waktu untuk mencapai ke atas kami sekarang.

“Selama apapun aku disini, maka sebenarnya hanyalah sekejap mata.” Ucapnya yang sulit ditebak sebagai suatu penyesalan atau kesedihan. Ia kembali menjilatiku, kali ini ia menjilati telinga kananku. Aku membiarkannya, toh kalau dia mau memakanku sudah dilakukannya sedari awal.

“Lalu untuk apa datuk menemuiku..?, dan sebenarnya kita memiliki sangat banyak waktu disini..” Datuk menghentikan jilatannya.

“Untuk memberi peringatan..!” Jawabnya. “Apakah kau berjanji akan menyampaikan peringatan yang akan aku sampaikan kepada bangsa manusia yang hendak datang kesini..?” Aku kaget juga mendengar penjelasan datuk, terbersit kengerian dari apa yang datuk pinta, peringatan, dan memegang amanah menyampaikan peringatan itu adalah merupakan ketakutan yang memang sewajarnya aku rasakan.

‘Apa yang akan terjadi kepadaku bila tak mampu memegang amanah tersebut..?’ demikian yang terbersit dalam batinku.

“Hei Khoy..!!, apa kau tertidur..?” Tanya datuk keras membuyarkan lamunanku.

“Aku hanya sedang memikirkan tanggung jawabku menyampaikan peringatan itu datuk, disisi lain, pasti ada suatu alasan mengapa datuk lebih mempercayaiku untuk memegang amanah itu..” Jawabku secara dewasa mencoba bijak menyusun kata.

“Nah, itu..” Datuk menyeringai. “Aku memilihmu karena kau anggota rombongan yang paling belakang..” Lanjutnya mengecewakan.

“Cuma karena paling belakang..?” Tanyaku kesal.

“Iya, paling belakang dan paling lemah pendirian..” Datuk kembali membasahi hidungnya untuk yang kesekian kalinya. “Dasar hidung basah.” Batinku kesal.

“Pernahkah kau diceritakan tentang negeri langit Khoy..?” tanya datuk penasaran. Aku hanya menoleh memendam kesal dengan menggelengkan kepala.

“Negeri langit adalah negeri para dewa, disanalah para bidadari tinggal, di kampung pelangi..” Datuk menjelaskan padaku dengan senyumnya yang lebar.

Komentar