Cerpen - Kisah Kopi Dihari Minggu

Cerpen, Kisah Kopi di Hari Minggu


Dear Sahabat kerinduan, aku bukanlah siapa yang layak untuk kalian kenal. Tapi, Aku ingin memperkenalkan tentang banyak hal kepada sahabat, tentang teman-temanku yang unik, tentang persahabatan kami yang asyik yang mungkin tak pernah kalian alami. Seperti halnya kehidupan kalian yang bahkan mengimpikanya pun kami tak berani.


Ini ceritaku tentang persahabatan anak desa di lereng kaki bukit barisan yang masih terjaga baik dari pengaruh metropolitan. Sekalian juga akan kuceritakan pada sahabat tentang alam, budaya, bahkan jujur saja seandainya mungkin, aku ingin menceritakan mimpi-mimpi kami.


Hari yang cerah, seperti biasa diawali dengan matahari yang memamerkan cahayanya ke segala penjuru arah. Mungkin sang mentari lupa, awan hitam kemarin siang menutupi keperkasaannya.


Bisa jadi dia ingat, tapi Khay tetap melupakannya. Dia hanya mengingat bahwa hari ini dengan disaksikan matahari atau tidak, Ia akan tetap bersama teman-temannya menjadi Tour guide bagi pengunjung wisata yang baru saja mereka perkenalkan kepada dunia melalui facebook. Kepada dunia, setidaknya beberapa teman facebook warga negara Malaysia, Pakistan, Hongkong dan India pernah Nge-Like postingan mereka yang bertajuk Curug Tik Baes-Wisata Ringan Lereng Bukit Barisan Desa Kuro Tidur. Bukan tidak mungkin sahabat juga pernah melihat postingan kayak gitu melintas di beranda sahabat. Kalau belum, search aja di facebook, masih ada kok.

Setidaknya beberapa teman facebook warga negara Malaysia, Pakistan, Hongkong dan India pernah Nge-Like postingan mereka yang bertajuk Curug Tik Baes-Wisata Ringan Lereng Bukit Barisan Desa Kuro Tidur.
Khaylan Putra, pemuda beranjak dewasa berpredikat perokok berat bermata tajam yang penuh misteri. Kecuali hidungnya yang pesek dan telinganya yang lebar sebelah tentunya. Namun satu hal yang pasti, Ia susah menggambarkan sesuatu dengan kata-kata. Seringkali Ia terlihat bingung memilih kata yang perlu diucapkan saat ngobrol, begitupun bahasa tubuhnya, datar, walau terkadang refleks tapi agak telat.

Intinya ga ada yang menarik dari Khay untuk dibicarakan, kecuali Ia tergabung dalam Kelompok Pecinta Alam yang memproklamirkan diri sebagai KPA Margapala. Dari sana  Ia dapat belajar banyak hal, tentang persahabatan, tanggung jawab, kepribadian diri. Di Margapala setidaknya Ia dapat berguna, walau masih dalam bentuk pengabdian kecil kepada bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia.


Pagi itu Khay baru saja selesai mandi ketika handphonenya berdering keras mengagetkan seekor cicak yang masih mengantuk. Tentu saja nada dering lagu favoritnya, “Judi” miliknya H. Rhoma Irama.

“Halo ketua, Assalamualaikum,,,,” sapanya setelah menekan tombol hijau dihandphonenya.
“Wa’alaikum salam broo, jadi kesiko kan..?”
“Jadi Ketua, Pie..?”
“Sipp,, Jam 07.00 WIB kita kumpul di post Pokdarwis Wana Bhakti.”
“86 ketua”
“Assalamualaikum..”
“Waalaikum salam.”
Setelah menutup telepon, Khay segera berpakaian kemudian mengeluarkan motor ke teras rumah. Setelah menghidupkan mesin motor Ia bergegas ke meja makan dan membuka tudung nasi, namun masih kosong. Ia kemudian menuangkan air kedalam gelas, meminumnya sambil melangkah ke dapur untuk berpamitan kepada ibunya yang sedang sibuk mempersiapkan menu. Setelah mendapatkan izin Ia pun segera meluncur ke DAM Air Lais sebelum ibunya berubah fikiran.

Rumah Khay di dusun III Suka Damai Desa Kuro Tidur kecamatan kota Arga Makmur, DAM Air lais terletak di dusun IV. Untuk menuju kesana Khay harus melintasi dusun I, dusun II, dusun V, kemudian melintasi Desa Sidoluhur kecamatan Padang Jaya.


Memerlukan waktu lebih kurang 25 menit dengan jarak tempuh 7,5 Km menggunakan sepeda motor, bisa lebih lama bila menggunakan kendaraan lain. Mungkin ini dipengaruhi oleh akses jalan menuju kesana yang sudah lama tidak diperbaiki, atau mungkin faktor cuaca yang bila turun hujan beberapa bagian jalan tergenang air cukup dalam, dan bila beberapa hari ga hujan, genangan tetap bertahan, selebihnya debu beterbangan.


Tepat pukul 07.15 WIB Khay memarkirkan sepeda motornya di pekarangan post Pokdarwis Wana Bhakti. Telat 15 menit dari jadwal agenda Radar (Rapat Darurat) KPA Margapala, konsekuensinya Khay dihukum membuat kopi.


Tentu saja ini tidak adil, tapi keadilan di negeri ini hanya bagi orang-orang yang memiliki andil. Begitulah yang kami tau menurut pemberitaan Nasional, baik media sosial, cetak, elektronik, bahkan kabar dari mulut ke mulut, sehingga Khay memaklumi beberapa jenis keadilan yang ada di negeri ini. setelah menyapa rekan-rekannya dengan salam Margapala, Ia bergegas untuk menyiapkan kopi di dapur rumah pak kadun.


Benar-benar sebuah ketidak adilan yang yang bermakna sejarah bagi seorang Khaylan Putra yang terlalu indah untuk dilupakan dan terlalu sedih untuk dikenang.


Hukuman pagi itu benar-benar berbekas di lubuk hati Khay yang paling dalam. Di dapur rumah pak kadun Ia dipertemukan tuhan dengan Intan, bendahara Pokdarwis Wana Bhakti yang cantik, energik, pemilik senyum yang indah dengan level suara yang ngangenin.


Sejak saat itu Khay termotivasi untuk telat lagi. Andai saja kisah ini ditulis penyair India, tentu saja saat itu Khay dan Intan telah berada ditempat lain untuk menyanyikan lagu-lagu penuh romansa, menarikan kemesraan di taman penuh bunga dan tentu saja teman-teman mereka menjadi penari latar dengan senyum ceria. Hemm.. Sayang sekali.


Namun jangan dilupakan, Khay adalah seorang pemuda perokok berat yang susah merangkai kata untuk diucapkan. Maka sesuai predikat itu Ia langsung menyulut rokok kemudian berkata “Hai..” dengan nada tertahan sebab mulutnya berasap.


Intan pun tersenyum menerima sapaan Khay, “Telat ya bang ?” tanyanya.


Khay menjawab dengan anggukan kepala kemudian menata gelas diatas meja.


“Udah, biar Intan ajo bang.. entar abang yang bawaknyo, tuh kopinyo lah Intan siapi dalam teko.” Lanjut Intan sembari menunjuk kearah teko yang telah diisi dengan racikan gula kopi.


“Tinggal nunggu airnyo mendidih jo lagi koh..” lanjut Intan sembari tersenyum sambil mengedipkan mata kirinya.


Sejurus kemudian Intan membuka tutup panci mengintip air yang direbusnya, dan kembali melemparkan senyum kepada Khay yang sibuk merangkai beberapa kata dalam batinnya. Hingga pada akhirnya, dengan senyum teriklasnya “Oh..” jawab Khay, lalu bergegas menata kembali gelas ke dalam nampan.


Entah berapa waktu mereka habiskan untuk saling mengungkap senyum di sana, airpun mendidih, semua proses peracikan tahapan demi tahapan Intan kerjakan dengan penuh perasaan sehingga kopi telah siap untuk disajikan.


Tanpa di komando, Khay segera mengambil alih, membawa kopi itu ke forum pertemuan yang disaksikan oleh belasan anak-anak. Disudut matanya Khay melirik papan agenda, tertulis No. 01. Minggu, 14 Februari 2016, Memfasilitasi RBTV dan awak media Online yang diboyong KPPL Bengkulu Utara meliput Rafflesia Bintang dan curug Tik Baes. Setelah tuntas menjalankan hukuman kopi, Khay pun mengambil posisi. Tak disangkanya Intan pun kemudian memposisikan diri tepat disebelah kanannya. Saat itu acara telah sampai pada pemaparan ketua KPA.


“Okkey silahkan diminum kopinya, kita lanjut lagi.” Demikian ketua yang pemaparannya sempat terhenti karena Khay meminta izin menghidangkan kopi.


“Baiklah sahabat lestari,” lanjut ketua “dalam hal kegiatan kita hari ini telah kita sampaikan permohonan secara lisan kepada pemerintah desa kita agar pemerintah desa dan BPD dapat turut hadir ke curug Tik Baes, Sudah dikonfirmasi pihak pemerintah desa bahwa mereka akan mengirimkan perwakilan, begitupun dari BPD.” ???Ketua menghirup kopi sebelum melanjutkan.


“kemarin sore kita juga berkoordinasi dengan pihak Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata Kabupaten Bengkulu Utara Via handphone melalui Kasi Promosi, namun mungkin beliau sedang sibuk sehingga ditelpon ga diangkat di sms ga dibalas sampai dengan sekarang. Mengenai pembagian tugas sebagaimana yang telah kita sepakati tadi untuk dijalankan dengan tanggung jawab sesuai dengan Kode Etik.” Ketua memperhatikan semua peserta dan mengangguk kepada Khay, yang juga dibalas dengan anggukkan tanda mengerti.


“Salam Merah Putih..!!!” Pekik ketua memecah keheningan yang dijawab serentak oleh yang hadir “Garuda di Dadaku” dengan meletakkan genggaman tangan kanan ke dada sebelah kiri. Ketua tersenyum kemudian melanjutkan: “Wallahulmuafieq ila akwamithorieq, Salam margapala.” Dijawab peserta “Menuju Alam Lestari” dengan Mengacungkan kepalan tangan ke udara. Kemudian Ketua menutup pemaparanya dengan salam dan Radar KPA pun ditutup.


Anak-anak yang turut menyaksikan Radar pun bubar dengan meneriakkan yel-yel “Salam Merah Putih” dan “Salam Margapala” kepada siapapun yang mereka temui di jalan. Tentunya mereka jawab sendiri dengan ekspresi menang perang.


Waktu terus berjalan, wisatawan mulai berdatangan, teman-teman dengan cekatan menangani post masing-masing mulai dari pengarah parkir, pendataan tamu.


Beberapa saat kemudian leader pembuka jalan berangkat untuk memastikan jalur aman dilewati. Pukul 08.20 WIB KPPL Bengkulu Utara tiba dengan membonceng awak media. Keadaan menjadi semakin sibuk, sehingga konsentrasi teman-teman bercabang mencari arah kamera, masuk dikit jadilah.


Setelah awak media merasa puas berbincang-bincang dengan perangkat desa dan pioneer KPA Margapala, sambil sesekali membidik untuk mendapatkan gambar yang elok, ketua KPA mengajak mereka beserta rombongan yang didampingi pemerintah desa Kuro Tidur menuju Curug Tik Baes, legenda bidadari yang terlupakan.


Hari itu Khay bertugas sebagai leader, tour guide bagi wisatawan yang membutuhkan pendampingan sehingga dipastikan standby di post sampai waktu yang belum diketahui. Mengenaskan memang, tapi Dia tak sendiri, masih ada Angga, Nurdin, Rozi, Adi, dan Hery. Aku ga ingat secara pasti mereka semua menunaikan tugas atau tetap standby disana, di bangku cadangan.


Malamnya, Khay dan Intan memulai smsan dan berakhir telponan. sejak hari itu mereka mulai akrab dan sering jalan bareng, sesekali mereka pun terlihat mengupload fhoto kedekatan mereka di facebook.


Demikianlah kisah ini ku ceritakan kepada sahabat, dengan harapan agar sahabat dapat memahami bahwa kita adalah spesial, walau terkadang terjebak dalam ketidak-adilan. Namun diantara ketidak-adilan yang ada, bisa jadi menyiratkan suatu makna yang di kemudian hari akan menjadi indah bila waktunya telah tiba.


Namun bukan karena ketidak-adilan bila pun ternyata sekarang hubungan Khaylan dan Intan sudah tidak indah lagi, bahkan pertemanan di facebook pun sudah di unfriend. Menurutku, itu karena takdir. Sehingga menjadi kisah kopi dihari minggu, yang terlalu indah dilupakan, terlalu manis dikenangkan.


Salam hormat buat sahabat Alam Lestari, KPA Margapala



Edisi ke 13 dan sepertinya ga berubah lagi deh


Disadur dari:
Catatan-catatan 2016, perjuangan KPA Margapala memperkenalkan kearifan lokal Wisata Ringan Lereng Bukit Barisan Untuk Bengkulu’s Wonderfull 2020, The Land of Rafflesia. Menuju Alam Lestari.

Komentar