Cerpen - Sepanjang Jalan Kenangan

Cerpen - Sepanjang Jalan Kenangan



Kau tak akan bisa datang dan menapakkan jejak kesini, yah, takkan sanggup, Bumi Rafflesia, tanahnya hanya bagi orang-orang yang ditakdirkan. Juga air dan udaranya, akan menghadirkan banyak pengorbanan dan rintangan yang selalu sedia menjaganya.
Semuanya, silih berganti harus kau hadapi untuk melihat kesungguhan, yang bisa saja pencarianmu adalah bagian yang paling dijaganya. Terjaga dengan sepenuh belaian, menjadi misteri yang menyembunyikan siapa pemilik yang sesungguh menjadi cintanya.

Seperti hari itu, pikiranku melambung jauh melintasi waktu demi mengenang sebuah perjalanan cerita hidup. Ceritaku yang seharusnya indah dikenang seketika menyakiti perasaan dalam hatiku yang paling dalam. Hampir saja gawai di tanganku terjatuh ke lantai kamarku yang masih berantakan. Sebuah status facebook, yang membawaku kemasa beberapa tahun silam di ketinggian Bukit Kaba.

***

“Masih jauh dear..?” Yuni bertanya lagi sembari menggelayutkan tangannya di pundakku.

“Dikit lagi, itu tangganya sudah kelihatan.” Jawabku memberi semangat.

“Tadi juga katanya udah dikit lagi..!” lalu Ia duduk dan membentangkan kakinya di jalanan. “Aku capek dear!..” lanjutnya dengan nada banyak tekanan.

“Aku juga..” Kemudian aku duduk disampingnya, bersandar pada ransel di punggungku. Yuni  memicingkan mata kirinya lalu mendorong bahuku. Lucu sekali wajah yang dipamerkannya. Andai saja aku tidak takut Ia marah, ingin rasanya aku mengabadikannya dengan kamera gawaiku.

“Kalau aku tau begini, mending aku ga ikut dear..”

“Iya, aku juga.” Jawabku sambil meremas-remas pahaku yang terasa geri.

“Dasar aneh..!!, hegggggght..” Yuni geram disertai serangan cubitan ke arahku, aku berusaha menangkis serangannya. Saat Yuni agak lengah, aku langsung berlari menghindari serangannya yang semakin brutal. Berlari meninggalkannya yang masih menyiapkan beberapa serangan lanjutan.

“Woy.. dear.. tungguin..” teriaknya mencuri perhatian pengunjung lain.

Aku berusaha berlari dengan kekuatan yang kembali terisi, entah dari mana, bahkan ransel dipundakku mendorong langkahku untuk selalu lebih cepat lagi. “Aku harus segera mencapai anak tangga itu.” Batinku.

Beberapa waktu kemudian, “tap..” aku berhasil mencapai anak tangga dengan rasa penuh kemenangan, tersenyum bangga berusaha menguasai nafasku yang semakin sulit ditaklukkan. Lalu aku menoleh ke belakang untuk melakukan selebrasi kemenangan.

“Dear...” Aku tersentak, melepaskan pandangan ke segala penjuru, ke jalan yang tadi aku lalui, ke kerumunan orang-orang yang duduk di tempat perkemahan, tapi tak ada sosok Yuni disana, tak ada jilbab pink, hanya ada orang-orang aneh yang sepertinya sedang membicarakan aku.

“Dear.. kamu dimana..?” Aku mulai panik dan secara spontan mengingat cerita rakyat yang melegenda, tentang larangan mendaki Bukit Kaba. Aku semakin panik, merasa bagai wayang yang digerakkan dalang, tapi tanpa tabuhan gamelan.


Keringat takut membanjiri tubuhku bercampur keringat keresahan, dan entah mengapa aku menjadi sangat merindukan Yuni, serasa bagaikan senin merindukan kamis, terhalang selasa dan rabu yang kejam.

“Dearrrrr...!!!” Pekikku keras setelah mendapati Yuni tak ada di tempat tadi aku meninggalkannya.

“Cari siapa mas..?” tanya orang asing yang terlihat aneh dengan ransel yang sarat muatan.

“Cewek jilbab pink..” Jawabku tak bergeming dan segera berlari menuruni jalanan yang tadi kami lewati berdua. “Dear, kamu dimana..?” ucapku lirih.


Entah bagaimana melukiskan perasaanku saat itu, mungkin hanya para pujangga yang mampu melakukannya. Namun, aku benar-benar menyesal telah meninggalkannya di tempat itu. Dalam hati aku berjanji tak akan pernah melakukannya lagi, walaupun dia mencubit ku sekeras apapun.


‘gerrrrrrr.. gerrrrrrrr..’ handphoneku bergetar, aku masih tak menghiraukannya, hingga kemudian nada dering terdengar. Aku baru menyadari seharusnya bisa menelpon dulu sebelum panik berlebihan. “Dear..” aku berharap Yuni yang menelponku.


What!!, aku benar-benar kaget, rasanya jantungku akan meledak demi melihat handphone ku, photo Ibunya terpampang di layar dan menunggu aku menerima panggilannya. Saat itu aku merasa ibu berada di hadapanku, dan bertanya di mana Yuni.



Setelah suasana jiwa lumayan tenang, dan jantungku berdetak mendekati normal kembali, barulah aku memberanikan diri menerima panggilannya.

“Halo bu, Assalamualaikum..” Sapaku dengan nada setenang yang aku bisa.

“Nak Richie gak ke Kaba bareng Yuni yah..?”

“Tadi bareng bu, Cuma sekarang terpisah..”

“Halah, gayamu Chie.. pake terpisah segala.”

“Beneran bu, tadi kami barengan..” Jawabku.

“Ya sudah, jangan kamu tinggalin lagi. Yuni lagi nunggu kamu di tangga..”

“What..!!!”

“tut..tut..tut..” Panggilan pun diakhiri.

Senang, tapi kesal juga merasa dikerjai sesiang ini. Namun aku harus memastikan Ia benar-benar disana. Semua persendian ku terasa kelu, aku sejenak berdiri terpaku mencoba mengingat apa yang baru saja menimpaku. Cinta ini benar-benar berat kawan.

Beruntung aku bukan berada di meja kantorku, karena disana, aku tak akan memiliki alasan untuk menyeka bulir air yang menitik dari sudut mata dan kemudian deras mengalir ke rongga-rongga dalam tubuhku, hingga menyumbat nafas yang tersengal.


Aku masih berusaha, berusaha menenangkan gejolak hati, ku apit kepalaku dengan kedua lengan, kemudian membungkuk duduk perlahan, mencoba menikmati kecengengan yang bodoh. Namun entah siapa yang bodoh.

“Ayo bang, serempak kami” Tegur salah seorang rombongan pendaki yang melintas mengusik keasyikan ku.

“Yo, luanlah, Istirahat lu..” Jawabku kemudian sembari mengelap mukaku yang basah. Basah dengan keringat dan air mata.

Kutimang-timang gawaiku yang tadi terlupakan hingga aku sampai disini, gemuruh hati mulai mereda, dan kemudian sebuah bisikan menyemangatiku untuk segera memastikan Yuni baik-baik saja, terserah sekarang Ia dimana.

“Tut..tut..tut..”

“Halo nak Richie, ada apa nak..”

“Gapapa buk Yuni..” Jawabku dengan lemah lembut. “Kamu dimana sih Dear, kok tadi Ibu menelponku dan bilang kamu di tangga..?” Lanjutku dengan nada agak kesal.

“Hei, ini ibu nak Richie.. Yuni bawa handphone ibu, tadi katanya biar ga ada yang ganggu liburan kalian..”

“O..” Dan aku mulai menyadari bahwa ini benar-benar suara Ibu. Gemuruh hatiku kembali bergolak, kembali membara, kali ini mungkin sulit dipadamkan dan bisa meledak kapan saja.

“Halo.. kok diam, kalian jadi ke Bukit Kaba nggak nak Richie..?”

Buyar...


“Jadi Bu, sebentar lagi nyampe. Ne lagi di jalan, sudah dulu ya bu, Assalamualaikum..” dan langsung kuputuskan tanpa menunggu Ibu menjawab salamku.

Aku langsung berdiri dan akan segera berlari untuk meluapkan lahar kemarahan yang menyesak dihatiku.

“Hah..!” Aku kaget bukan kepalang, seperti tiba-tiba melihat penampakkan di tengah hari buta yang terjadi di film misteri.


Untuk kesekian kalinya jantungku terasa berhenti berdetak, darahku yang tadi mendidih tiba-tiba membeku, bahkan mataku tak mampu berkedip dan mulutku terasa kelu, tak mampu dikatupkan lagi.

“Ga usah kaget gitu napa, kayak liat hantu saja dirimu, ibu bilang apa dear..” Tanya Yuni datar dengan tatapan tak bersalah sedikitpun.

Aku kembali berupaya menguasai tubuhku yang hari ini sering kali di luar kendali. Sebelum aku sempat mengucapkan sepatah katapun, gawai Yuni berdering. Memberi waktu tambahan untukku menenangkan diri.

“Iyo mak, Assalamualaikum..” Yuni membuka percakapan telepon.

“Ono kok mak, iki, emak arep ngomong..”

“Oh.. yo wes nek ngono.. Waalaikumsalam..” Yuni kemudian menutup teleponnya.

“Minum Dear..” Sapa Yuni sambil menyodorkan air kemasan.

“Makasih Dear, kamu perhatian banget..” Aku segera meraih botol yang Ia sodorkan dan kemudian menenggak habis isinya sampai ke tetesan terakhir.

“Sepertinya kamu haus sekali Dear, dari mana aja..?” Godanya yang membuatku semakin kesal.

“Resyek..” Umpatku. Kemudian kutarik tangannya menuju puncak yang tertunda. Yuni hanya menurut, kali ini tanpa perlawanan. 

“Dear..” Yuni mencoba membuka pembicaraan.

“he..” Jawabku tanpa menoleh.

“Kamu tau gak gimana wajah kamu pas tadi lari ke bawah sana..?”

Aku menghentikan langkah dan menatap matanya dalam-dalam, Tangannya kuremas sekuat tenagaku. Ia tampak meringis, tapi tak berusaha untuk melepaskan.

“Okey Dear.. ups.. kita bahas kapan-kapan..” Ucapnya sembari merintih menahan sakit.

Kami pun melanjutkan perjalanan dengan sisa tenaga tanpa sepatah kata yang terucap. Beberapa menit kemudian kami mencapai tangga pertama, ku hentikan langkah ku, kupandang wajah Yuni, Yuni mengerling kemudian menyambut tatapanku dengan sudut mata kirinya yang berbulu lentik. Kembali Ia mencoba menyampaikan perasaan lewat senyumnya yang selalu menyejukkan aliran darahku, tapi dibalik senyum manisnya saat itu, ada kelelahan yang Ia coba tutupi. Aku tau.

“Istirahat dulu Dear..?” tanyaku.

“Makasih Dear, kamu perhatian banget..” Jawabnya dan langsung nggelosor duduk di tepi anak tangga yang lumayan luas, kira-kira semeter, atau mungkin lebih. Aku duduk di sampingnya, Yuni pun merebahkan kepalanya manja dipundakku.

“Eh Dear..” Katanya sambil merogoh kantong celanaku, “sepertinya moment ini bagus deh kalau diabadikan..” lanjutnya sembari menyodorkan gawaiku. Aku mengikuti usulnya, dan entah berapa banyak gaya yang Ia lakukan.


Kami benar-benar berusaha memainkan peran masing-masing dengan sebaiknya. Aku sebagai photograph, dan Yuni sebagai modelnya.

Kemudian kami memainkan peran sebagai sepasang merpati cuek, saling bersandar tanpa memperdulikan kelakuan ramainya pengunjung yang berlalu lalang.

“Lanjut yuk Dear, puncaknya sedikit lagi..” Aku berdiri setelah cukup puas beristirahat dan menikmati moment itu.

Yuni menjulurkan kedua tangganya dengan senyum itu lagi, tatapan lelah. Ku bantu Ia berdiri, kemudian kami melanjutkan langkah demi langkah meniti anak tangga yang enggan disapa. Satu-satu anak tangga kami lewati dengan tangan bergandengan, hingga akhirnya, anak tangga terakhir.

“Wow!, kita berhasil Dear, wuhuy...” Teriaknya girang dan mengangkat kedua tangannya sambil berjinjit kaki.


Aku berusaha melihat apa yang sebenarnya terjadi, benarkah Yuni segirang itu? aku bertanya dalam hati.

“Dear.. apa yang membuatmu rela datang sejauh ini, dan tega mengorbankan hari liburku..?” Tanya Yuni membungkuk memegang lutut yang kemudian digoyang-goyangnya dengan ritme.

“Dear..!” Teriak nya kesal, kemudian menyeka keringat yang merembes menembus kulit dahinya.

“Karena sepadan..” Jawabku. Aku mengambil dua botol air mineral dari ranselku dan memberikan satu padanya, Yuni meraihnya dengan nafas yang masih tak beraturan. Aku melihat beberapa pertanda Ia akan segera banyak bicara, beruntung aku segera menyadarinya, dan segera mengambil jeda yang ada.

“Dear, Aku tak yakin semua orang tau padanannya, tapi kini aku tau, kau akan segera tau..” lanjutku sembari menarik tangannya menuju pagar pengaman yang membatasi pengunjung agar tidak terjerembab ke lembahnya yang cukup tinggi.

Aku kemudian mengangkat kedua tangannya perlahan dari posisi yang tepat untuk sebuah momen seromantis itu.

Hidungku begitu dekat, hanya beberapa centi dari tengkuknya dengan mata terpejam, sehingga mampu mempengaruhi alam bawah sadarnya agar mengikuti caraku bernafas, menarik, dan menghembuskannya perlahan. Aku tau selayang pandang Ia mencoba memandang wajahku dengan sudut matanya, tapi tak kupedulikan, aku mempertahankan posisi ini agar ia mengenali kerinduanku, dengan mata terpejam merasakan kehadiran setiap aliran nafasku yang membelai kibaran hijabnya yang wangi. Aroma Parfumnya yang khas, bercampur aroma keringat kelelahan.

Dalam kegelapan, aku menyeruak bayang-bayang yang semakin jelas dalam ingatan. Lima jam yang lalu, kami masih tertawa riang di pematang sawah menyaksikan bulir embun tergelincir melintasi daun padi yang masih kecil, kemudian menyatu dengan air sawah yang masih terasa dingin. Kami juga bertemu petani pagi yang menyapa ramah, menebarkan senyum bagai sebuah penawar kehausan. Di pematang hamparan sawah desa Kemumu, selaras dengan bias jingga sinar kehangatan sang surya pagi.

Aku tersenyum, ketika ingat semalam teman-teman KPA Margapala mengajakku melihat keadaan Rafflesia Bintang di Tik Baes. Aku fikir, ini Bumi Rafflesia, masih akan ada banyak kesempatan bahkan untuk memastikan kelestarian Rafflesia yang lainnya. Maafkan aku sahabat alam lestari, aku tak ingin melewatkan kebersamaanku dengan Yuni hari ini, walau harus menempuh puluhan kilometer, melintasi Liku Sembilan, menuju kota dinginnya Provinsi Bengkulu, Curup, Rejang Lebong.

“Bang, Titanic tuh di laut, bukan di gunung..” Goda seorang pengunjung membuyarkan lamunanku disambut tawa beberapa pengunjung yang lain.

Aku dan Yuni tersentak sadar, lalu saling pandang, “Ga nyangka, ternyata cowokku romantis juga kalau di gunung..” Ungkap Yuni pada rombongan pengunjung itu sembari melingkarkan tangannya ke pinggangku, dan disambut tawa mereka yang ramah, kemudian menawarkan kopi yang sudah mereka persiapkan. Kamipun bergabung dan menikmati suasana sambil ngopi bareng bersama mereka.

Mereka rombongan dari Kota Manna Bengkulu Selatan, sambil menjelajah penjuru bukit Kaba, kami menikmati pemandangan hijau hamparan sayuran segar dari ketinggian, menyaksikan kepulan asap kawah, dan mengabadikan segumpal awan yang melintas di bawah kami.


Aku dan Yuni mendapatkan banyak cerita, tentang pantai berbatu yang aneh menurutku, Meriam Honsuit peninggalan penjajah yang dipajang sebagai tontonan gratis, goa Batu Ampar, batu gedung dan sebagainya yang layak untuk dikunjungi, suatu saat nanti.

Hari semakin sore, Teman-teman dari kota Manna yang baru saja kami kenal itu menawarkan kami untuk menginap di tenda mereka, tapi tentu saja aku dan Yuni tak bisa menerima tawaran itu karena memang tak ada persiapan sama sekali. Dan kami memutuskan untuk turun dan segera pulang.

***

“Dear, sepertinya lain waktu kita harus mengunjungi Bengkulu Selatan..” Yuni membuka pembicaraan setelah memesan nasi goreng di sebuah kedai tak jauh dari terminal purwodadi, kota kelahiran kami, Arga Makmur.

“Kenapa..?” pancingku.

“Ya.. penasaran aja setelah denger dari cerita temen-temen tadi itu.” Jawab Yuni penuh ekspresi. “Sekalian aku mau lihat Bendungan Seluma, bagus loh Dear..” Lanjutnya semakin bersemangat.

“Emangnya kamu udah pernah liat Dear..?” Tanyaku penasaran.

“Baru liat potonya sih, di Facebook temenku.” Jawabnya datar.

“Terus ke pulau Tikus..?”

“Kan deket Dear, bisa kapan aja pas ada luang sehari bisa langsung cusss..” Sambil tangannya dikibaskan di depan hidungku mengekspresikan kecepatan.

“Dek, ini nasi gorengnya..” Panggil pemilik kedai yang cukup ramai pengunjung ini.

“Iya Uni, sebentar..” Balas Yuni.

“Ayo Dear, cabut kita..” Ajaknya dan segera berlalu menuju pemilik kedai yang tampak menunggu. Yuni membayar dan aku buru-buru menyusul.

“Kok dibungkus Dear..?” Tanyaku kesal karena udah lumayan lapar.

“Aku pengen makan di alun-alun Dear..” Jawabnya sambil menaiki motor yang sudah ku stater. Akupun langsung menge-gas motorku menuju Alun-Alun Rajo Malim Paduko.

Malam itu langit Arga Makmur bertabur bintang, persis seperti keadaan hati kami yang dipenuhi bintang-bintang.

Ternyata alun-alun sudah ramai dikunjungi warga yang juga menikmati suasana cerah malam itu. Bahkan sepeda hias tak ada satupun yang terparkir, beberapa warga tampak kesal menunggu antrian yang juga hendak menyewa nya bareng keluarga atau bareng teman-teman. Beberapa orang anak-anak juga terlihat manyun di pertigaan sudut taman menunggu giliran.

Kami terlebih dahulu mengelilingi alun-alun Rajo Malim Paduko sambil mengamati keadaan. Setelah menemukan posisi yang kami rasa cukup romantis di bawah sebatang pohon rindang di sudut lapangan, aku memarkirkan motorku.

“Sayang bulannya gak ada di langit ya Dear..”

“Kan Bulannya sedang di sampingmu Dear..” Jawab Yuni Manja.

“Halah.. Lebay..” Ejekku.

“Udah ah, ayo makan.” Juteknya keluar.

“Loh Minumnya mana..” Tanyaku.

“Tuh di motor, di ranselmu.” Tunjuk Yuni.

"Oh iya, lupa." Akupun mengalah dan segera mengambil ranselku sekalian. kami pun makan dengan lahapnya.

“Dear, makasih ya udah ngajakin aku ke Bukit Kaba hari ini..” Ujar Yuni tak menatapku, sambil memotong telur dadar miliknya.

“Iya Dear sama-sama, maaf gak jadi ke Pulau Tikus hari ini..” Jawabku. Yuni tersenyum, dan memintaku menyuapinya.

* * *

Dar..dar..dar..

Pintu kamar ku digedor dari luar, “Nak, udah jam delapan, kau idak ke kantor..?” Tanya mamaku yang seketika menghentak membuyarkan lamunanku. Aku segera bangkit dan membuka pintu kamarku.

“Ngapo bangun siang nak..? Sakit..? lah jam delapan kini koh, kopi kau la dingin pulo tunah, la telambat kau ke kantor nak, cepatlah..” Ibuku langsung masuk ke kamarku hendak membereskan tempat tidurku.

“Lah..!! cepatlah mandi, waktu tu terus berjalan..” hardik Ibuku yang terbakar emosi melihat aku masih berdiri bersandarkan daun pintu.

“Ini hari Minggu Ma..” Jawabku cuek meninggalkan mama menuju kopiku diatas meja ruang tamu.

“Hari minggu apo, adik kau la berangkat sekolah. Cepatlah mandi..” Omel mama sambil merapikan tempat tidurku.

Dan tak lama kemudian adikku mengucapkan salam di depan pintu.

"Assalamualaikum.." Teriaknya sambil senyum-senyum sendiri.

“Waalaikumsalam.." aku menjawab salamnya. "Ngapo cepat nian balik dek..?” Tanyaku menggoda.

“Hari minggu kak, tutup sekolah. Hehehehe..” Jawab adikku. Ia menimba ilmu jurusan TKJ salah satu SMK Negeri di kotaku tinggal.

“Minggu nian berarti harini..?” Mama masih penasaran keluar dari kamarku, berlalu sambil menertawai entah siapa. Dan akhirnya menyalahkan adikku.

Aku kembali teringat status facebook yang melintas di berandaku pagi ini, Yuni memposting photo kemesraan dengan teman lelakinya di meriam Honsuit, Manna, Bengkulu Selatan. Ia juga memamerkan kemesraan berlatar deburan ombak yang pecah di bebatuan, Tugu Pengantin, dan Bendungan Seluma yang pernah ia inginkan. Sederet kata yang Ia pilihkan menjadi pengantar postingannya,

“Takdirku mengantarkan aku mengenali dan mencintai kekayaan-Mu, terima kasih sayang.. Setinggi apapun, sedalam manapun. Tetaplah menjadi takdirku..”

Sambil mengunyah tempe goreng aku menyadari, bahwa hanya takdirlah yang bisa membuatku menapakkan kaki di tanah ini. Selamat Dear, akhirnya takdir membawamu hingga menapakkan kaki disana, tempat yang kau inginkan, walau belum untuk takdirku, bukan denganku. Aku harap, takdirmu juga membawamu kepada yang pernah aku dan kawan-kawan temukan, si belantan yang hampir hilang, Rafflesia Bintang.

Suatu waktu, bila kau menganggap lambaian nyiur di pantai adalah keindahan, bagaimana mungkin kau merasakan hal yang sama ketika berada di tepian pantai dengan kerimbunan cemara. Sedangkan diwaktu yang sama kau tak mendapatkan kejernihan yang membuncah dari himpunannya puncak-puncak gunung, lereng perbukitan, sungai-sungai kecil yang bermuara ke sungai, diteruskan ke pantai melalui banyak perkampungan.

Kemudian sebagiannya menghimpun ke pulau-pulau di tengah samudera. Bila memang takdirmu, ku ucapkan selamat datang di Provinsi Bengkulu, The Land Of Rafflesia dari sisi manapun kau menapakinya.


* * *

S E K I A N

* * *

Kuro Tidur, 18 Oktober 2018
Mengenang dedikasi perjuangan Wisata Ringan Lereng Bukit Barisan
Menuju Alam Lestari – KPA Margapala

Cerpen ini pernah dikirim mengikuti "Lomba Menulis Cerpen" yang diadakan oleh "Wonderful Bengkulu" dengan judul "Dear" dan dinyatakan tidak layak terbit pada tanggal 15 November 2018.
Sehingga saya bebas menerbitkannya dimanapun saya mau.

Terbit Pertama di blog Bumi Rafflesia dengan judul "Sepanjang Jalan Kenangan" dan sudah dihapus karena masa berlakunya habis.

Komentar